Minggu, 29 Juni 2008

Sampah Everest dan SGP

Sampah memang sudah menjadi masalah serius yang mau tidak mau harus segera diselesaikan dengan baik. Kepedulian masalah sampah ini tentunya tidak hanya dilakukan dengan mengadakan suatu pengelolaan sampah yang baik, namun penyadaran ke ‘penyampah’ pun wajib dilakukan.

Tempat terciptanya sampah pun tidak pandang bulu. Seiring jejak langkahnya kaki ‘penyampah’ melangkah, maka di situ lah sampah tercipta. Tidak hanya di kota atau desa, pemukiman atau perkebunan, di hutan dan pegunungan pun sampah terlihat nyata dan ini pasti berasal dari aktivitas ‘penyampah’ tadi.

Gunung Everest yang terkenal sebagai gunung tertinggi di dunia dengan ketinggian 29.035 kaki itu, telah dikenal pula sebagai gudang sampah sehingga pada Tahun 2004 pernah dibentuk tim ekspedisi untuk membersihkan sampah yang ada di gunung tersebut. Sedikitnya seratus relawan terjun dalam ekspedisi itu untuk membersihkan sampah yang diperkirakan mencapai 615 Ton. Tahun-tahun sebelumnya pun ada upaya pembersihan yang dilakukan pendaki yang peduli sehingga ada pengurangan jumlah sampah. Namun, menurut Asosiasithe Pendaki Gunung Nepal, Gunung Everest sudah ditaklukan 3.067 kali sehingga pendaki yang telah singgah di gunung ini sudah mencapai ribuan orang dan sampah yang dihasilkan pun tentu bertambah banyak karena sebagian besar pendaki Gunung Everest tersebut adalah mereka yang ‘penyampah’.

PR (25/06/2008) pun melansir bahwa pada tahun lalu, rata-rata sampah yang dihasilkan tiap penunjung sekitar 6 pon. Hal ini menimbulkan banyak tanya di diri kita. Kita menganggap bahwa orang yang mendaki gunung adalah orang yang peduli dengan alam karena hidupnya banyak diluangkan dengan alam. Ternyata hal ini tidak berlaku kalau kenyataan yang terjadi seperti itu. Kedekatan manusia dengan alam tidak menjamin kepedulian mereka terhadap alam. Sekarang apa yang semestinya dilakukan? Apa tidak akan lebih baik kalau menjauhkan manusia dengan alam. Tapi tentu itu hal yang tidak mungkin dilakukan. Manusia memerlukan alam, meskipun sebenarnya belum tentu alam akan lebih baik dengan adanya campur tangan manusia.

Langkah penyadaran ke ‘penyampah’ termasuk juga ke ‘pendaki penyampah’ yang beraktivitas di hutan dan gunung harus terus dilakukan. Tentunya metode dan cara yang ditawarkan pun harus dikemas sedemikian cantiknya sehingga yang timbul bukan pemaksaan, namun justru kesadaran. Inilah yang mungkin dapat kita lakukan, disamping elemen lain melakukan kegiatan pembersihan sampah yang dapat menghabiskan biaya sangat besar.

Saya menghargai sekali adanya upaya-upaya ke arah sana seperti kegiatan SGP (Sahabat Gede Pangrango) yang saya ketahui sedang diagendakan rutin setiap tahunnya oleh relawan YPBB (Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi). Apabila SGP ini pun dinilai sedikit banyak berpengaruh terhadap perbaikkan kondisi gunung kita, maka mudah-mudahan muncul sahabat-sahabat untuk gunung-gunung lainnya, termasuk Everest yang merupakan gunung favorit seluruh pendaki di penjuru dunia.


– Dea Maulana Yusuf, 30/06/08

Salah Satu Bedanya Pertanian Kita dengan Mereka

Kegiatan pertanian yang dilakukan Negara Thailand sepuluh tahun terakhir ini sungguh menakjubkan. Thailand telah membuktikan dirinya sebagai negara agraris handal dengan memunculkan produk pertanian baru berkualitas seperti jambu Bangkok, durian Bangkok, dan sebagainya. Belum lagi produk-produk pertanian hortikultura lainnya, baik sayuran ataupun tanaman hias. Pada waktu penulis melakukan magang di BBIH Pasir Banteng Sumedang, salah satu bahan kajian penulis yaitu anggrek Dendrobium, sengaja diimpor dari Thailand. Tentunya hal ini sangat mengkhawatirkan. Kita tahu Indonesia dikenal sebagai Negara yang kaya akan spesies anggrek, namun anggrek sekelas Dendrobium harus didatangkan dari Thailand.

Indonesia pun dikenal sebagai negara agraris yang kaya akan sumber plasma nutfahnya, memiliki jutaan hektar lahan pertanian subur yang prospektif untuk pengembangan beraneka macam komoditas pertanian strategis yang didukung pula oleh ketersediaan tenaga kerja murah, namun sampai saat ini, produk sejenis apa saja yang bisa mengalahkan Thailand, serta berapa total volume ekspor produk pertanian apabila dibandingkan dengan Negara Thailand. Tentunya masih kalah jauh dengan Thailand.

Pengembangan sektor pertanian di Negara Thailand memang serius. Ketersediaan infrastruktur menjadi hal utama pemerintah dalam mengembangkan kegiatan pertaniannya. Semua fasilitas yang dibutuhkan petani dibangun pemerintah Thailand. Kita semua tahu, jalan sebagai saran transportasi pengangkutan produk pertanian serta saluran irigasi yang ada di Thailand jauh lebih baik dari negara kita. Jalan tersebut dibuat serius untuk memfasilitasi kelancaran kegiatan pertanian. Saluran irigasi dibuat lebar-lebar, tentunya dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Pengembangan teknologi budidaya dan pasca panen diperhatikan benar-benar sehingga saat ini baik budidaya maupun penanganan pasca panen tidak menjadi masalah yang berarti bagi petani. Thailand memiliki bank khusus untuk modal pengusahaan sektor pertanian, Bank of Agriculture and Agricultural Cooperatives. Prosedur peminjaman modalnya pun tidak rumit, bahkan akan sangat mudah apabila petani tersebut tergabung dalam sebuah koperasi. Anggunan bisa berupa tanah, deposito berjangka, ataupun melalui kelompok tani. Disamping itu, Thailand memiliki pasar induk terbesar se-Asia sebagai pasar pusat produk pertanian. Terbangunnya pasar seperti ini tentu bukanlah pekerjaan mudah, dibutuhkan sinergitas seluruh stakeholders. Pasar ekspor Thailand saat ini yaitu Eropa, Amerika Serikat, Jepang , Taiwan, Hongkong, Singapura, dan Indonesia. Peranan Menteri Pertanian Thailand juga dalam mengembangkan pasar ekspor produk pertanian Thailand sangatlah penting. Keseriusan menteri tersebut terbukti dengan terbukanya kembali kran ekspor produk pertanian ke Amerika Serikat yang ditutup sebelumnya. Ini membuktikan bahun membahunya seluruh pelaku serta pengambil kebijakan untuk membangun dan mensukseskan pertanian Thailand. Itulah komitmen pemerintah Thailand dalam mengembangkan sektor pertanian di negaranya. Bagaimana dengan negara kita?

Sampai saat ini, produk pertanian kita sebenarnya belum tertinggal jauh dari segi kualitas dengan Thailand, bahkan kita memiliki keunggulan dari beragamnya produk khas kita yang bisa dilirik pasar internasional. Apabila dibandingkan juga keahlian antara petani Indonesia dengan petani Thailand tidaklah jauh berbeda. Teknik dan cara petani Thailand tidak terlalu canggih, masih relatif sama dengan petani Indonesia, namun dukungan penuh dari pemerintah dan seluruh stakeholders yang menjadikan petani Thailand lebih unggul dalam produksinya.

Campur tangan pemerintah Thailand sangat dirasakan manfaatnya oleh petani Thailand. Keterpaduan program dan kebijakan sangat mendukung iklim usaha pertanian yang progresif. Contoh nyata kepedulian pemerintah Thailand serta keseriusan dalam mengembangkan produksi pertanian yaitu dengan menyediakan bibit unggul yang berkualitas. Penelitian untuk menghasilkan bibit unggul ini didukung berbagai pihak sehingga saat ini yang ditanam petani Thailand adalah bibit unggul berkualitas sehingga terdepan dalam kualitas maupun kuantitas. Pemerintah membagikan bibit unggul hasil penelitian tersebut sehingga yang dihasilkan petani adalah produk pertanian berdaya saing tinggi dan diminati konsumen sehingga wajar saja apabila bisa menembus pasar internasional.

Hal berbeda terjadi di Indonesia. Waktu penulis melakukan penelitian tentang program revitalisasi jeruk keprok Garut-I dimana dalam program ini ditanam ribuan bibit jeruk keprok Garut-I yang murni dan sehat. Pemerintah kita melalui Dinas Pertanian Kabupaten Garut tidak melakukan kegiatan sebagaimana pemerintah Thailand. Pemerintah kita lebih terfokus pada tercapainya pelaksanaan program tersebut tanpa menghiraukan kualitas bibit jeruk yang diberikan ke petani. Alhasil, program revitalisasi jeruk tersebut yang sebenarnya telah dimulai pada Tahun 2004 sampai sekarang (terakhir Tahun 2007), belum menunjukkan hasil yang optimal. Banyak petani jeruk kecewa dengan bibit yang ditanam mereka sehingga mereka rugi jutaan rupiah. Program tersebut telah menghabiskan dana milyaran rupiah tanpa hasil yang memuaskan.

– Dea Maulana Yusuf, 24/02/08