Selasa, 19 Februari 2013

Perkembangan Komersialisasi Mangga Jawa Timur


Tulisan ini dibuat sebagai salah satu bahan penulisan Laporan VCKI (Value Chains Key Informan) Access to Modernizing Value Chains by Small Farmers in Indonesia, USAID AMA CRSP Project dan CAPAS Unpad


Perkembangan Komersialisasi Mangga Jawa Timur
Oleh: Dea Maulana Yusuf


Sejarah Penanaman
Tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan tanaman mangga mulai ditanam di wilayah Jawa Timur. Menurut informasi dari beberapa Key Informant, tanaman mangga sudah tumbuh dan berkembang secara tersebar di kabupaten-kabupaten di wilayah Jawa Timur sejak zaman penjajahan Belanda. Banyak yang beranggapan demikian dikarenakan seiring sejarahnya terdapat dua kebun percobaan dan penelitian mangga yang ada di Jawa Timur yaitu di Kabupaten Pasuruan yang dibentuk pada zaman penjajahan Belanda.
Sejak dulu, mangga telah diproduksi di beberapa kabupaten diantaranya Probolinggo, Pasuruan, Situbondo, Bondowoso, Gresik, Kediri, Tuban, Madiun, dan Nganjuk. Daerah tersebut lah yang diklaim sebagai daerah pertama penanaman mangga di Jawa Timur. Namun dari empat kabupaten sentra produksi saat ini, daerah pertama untuk pengembangan produksi mangga di Jawa Timur yaitu Probolinggo. Pasuruan dan Situbondo dikenal sebagai daerah pengembangan setelah Probolinggo. Setelah itu, Bondowoso dikenal sebagai daerah pengembangan selanjutnya.
Probolinggo sudah dikenal sebagai daerah sentra mangga sejak Tahun 1970an, sementara untuk Situbondo dan Pasuruan setelah Tahun 1980an, dan Bondowoso merupakan daerah yang pemasaran mangganya dilakukan oleh Situbondo sehingga sampai saat ini Bondowoso masih belum dikenal secara luas sebagai daerah produsen mangga Jawa Timur.

Sejarah Pendirian Kebun Percobaan dan Penelitian Mangga di Pasuruan
Kebun penelitian mangga Pohjentrek berdiri pada Tahun 1914 di Pohjentrek, Kabupaten Pasuruan. Kebun tersebut dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda untuk mengoleksi tanaman mangga bahkan peta lokasi kebun Pohjentrek didesain menyerupai buah mangga. Sampai saat ini, kebun tersebut masih berfungsi sebagai balai benih induk untuk tanaman mangga dan merupakan salah satu unit di bawah Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Timur.
Kebun percobaan mangga Cukur Kondang dibangun pada Tahun 1938 dan berlokasi di Grati, Kabupaten Pasuruan. Kebun ini berfungsi sebagai kebun koleksi mangga. Pada Tahun 1941, seluruh tanaman mangga yang berada di Indonesia dikumpulkan di kebun percobaan ini sehingga sampai saat ini kebun ini merupakan kebun koleksi mangga terlengkap se-Asia Tenggara. Kebun percobaan Cukur Kondang secara organisasi berada di bawah Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Sub Tropika (Balitjestro) Batu, Malang, namun pengelolaan mangga di kebun percobaan ini ditangani oleh Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika (Balitbu) Solok, Sumatera Barat. Kedua instansi tersebut masih dibawah Deptan.

Sejarah Varietas
Sejak pertama kali tanaman mangga dikenal di wilayah Jawa Timur, varietas yang dikenal dan mendominasi (40% lebih dari seluruh tanaman mangga yang ada di Jawa Timur) adalah varietas Arumanis, Golek sebanyak 20 %, dan sisanya adalah mangga varietas lainnya. Varietas lainnya yang paling banyak dikenal yaitu varietas Manalagi dan Podang.
Apabila ditelusuri, di setiap kabupaten hampir dijumpai mangga Arumanis. Namun ada beberapa Key Informant yang membagi varietas mangga berdasarkan keungulan komparatifnya. Misalnya, Kabupaten Probolinggo lebih dikenal untuk mangga Arumanis dan Lalijiwo (atau biasa disebut mangga Manalagi Probolinggo), Pasuruan lebih dikenal untuk mangga Gadung, Situbondo untuk Arumanis dan Manalagi Situbondo, dan Bondowoso untuk Arumanis.
-          Varietas Arumanis 143
Pada Tahun 1984, melalui penelitian di kebun percobaan Cukur Kondang, dilepaslah varietas mangga Arumanis 143 sebagai varietas mangga unggulan oleh Deptan dan disebarkan ke seluruh wilayah Jawa Timur bahkan ke Jawa Barat (Majalengka misalnya). Sebelum Tahun 1984, mangga Arumanis cukup dikenal dengan nama varietas Arumanis, namun setelah Tahun 1984, maka dikenal Arumanis 143 karena sebagian besar produsen bibit mangga langsung memproduksi varietas Arumanis 143 dan meninggalkan Arumanis biasa. Arumanis 143 dikenal sebagai mangga varietas unggulan karena produksi buah per musim konsisten, memiliki buah yang dominan seragam, serta produksinya kontinyu. Arumanis 143 merupakan seleksi dari 3 varietas Arumanis yang diklaim unggul yaitu Arumanis 1, Arumanis 135,d an Arumanis 143. Angka 143 merupakan nama klon mangga dari seleksi yang dilakukan.
-          Varietas Lainnya
Varietas Manalagi dan Golek yang merupakan varietas yang banyak ditanam pada akhirnya kurang dikembangkan. Selain kalah bersaing dalam preferensi konsumen yang lebih memilik mangga Arumanis, varietas Manalagi memiliki buah yang tidak seragam meskipun memiliki rasa yang enak, sedangkan varietas golek merupakan varietas yang sulit untuk dikembangkan (secara teknik sulit dilakukan perkawinan vegetatif untuk Golek).
Ada satu varietas mangga yang saat ini berkembang di daerah Pasuruan dan telah diupayakan untuk menjadi varietas unggul nasional, yaitu varietas Gadung. Pasuruan telah mengklaim varietas Gadung 21 sebagai keunggulan komparatif untuk wilayah Pasuruan, namun Deptan belum melepasnya sebagai varietas unggulan karena Deptan belum menemukan ada perbedaan mendasar pada Gadung 21 dan Arumanis 143. Secara sepintas, Gadung 21 dan Arumanis 143 hampir sama. Yang membedakan hanyalah daging buah dimana Gaung 21 lebih merah di bagian tengah dekat bijinya, juga untuk kulit buah. Apabila kondisi buah masih hijau, warna kulit buah Gadung 21 hijau semua, sedangkan Arumanis 143 ada kecoklat-coklatannya. Warna kecoklatan pada Arumanis 143 disebabkan bawaan dari mangga madu yang dipakai pada batang bawah Arumanis 143.

Program Pengembangan Mangga di Jawa Timur
Program pertama yang dikenal secara nyata dan besar-besaran sudah dilakukan di Jawa Timur yaitu pelepasan varietas mangga Arumanis 143 pada Tahun 1984 sehingga sejak saat itu banyak sekali program penanaman mangga yang dilakukan di Jawa Timur. Sejalan dengan pelepasan varietas unggul nasional tersebut, maka ada pengembangan mangga untuk di-kebun-kan. Dan setelah adanya perkebunan mangga, muncul program Kodex yaitu program peningkatan persyaratan mutu mangga ekspor dimana pada Tahun 1985 mangga Jawa Timur telah diekspor.
Program pemerintah dari Tahun 1980 sampai Tahun 1985 yang berkaitan dengan pengembangan tanaman mangga yaitu program pemeliharaan dan perbanyakan bibit mangga. Misalnya pada Tahun 1985/1986 ada perbanyakan bibit mangga di BBI Hortikultura Pohjentrek sebanyak 4.000 pohon. Setelah itu ada Program Penumbuhan Sentra Produksi Buah-buahan pada Tahun 1991/1992 yang berpusat di Gresik sebanyak 15.000 pohon dan pada Tahun 1992/1993 berpusat di Gresik (15.000 pohon), Tuban (15.000 pohon), Bondowoso (10.000 pohon), Situbondo (10.000 pohon), Banyuwangi (10.000 pohon), dan Sampang (15.000 pohon). Pada Tahun 1992/1993 juga ada Program Usahatani Lahan Marginal yang dikhususkan untuk tanaman mangga di Kabupaten Pasuruan ditanam bibit mangga sebanyak 25.000 pohon.
Tahun 1991/1992, di Jawa Timur telah dibangun kebun komersial mangga di beberapa kabupaten sentra produksi mangga. Pembangunan tersebut didukung melalui dana APBD, APBN, dan bantuan pemerintah Jepang OECF (Overseas Economic Cooperation Fund) yang sekarang menjadi JBIC (Japan bank for International Cooperation).
Pada Tahun 2003 sampai Tahun 2004, dilakukan pula pengembangan mangga melalui kegiatan Bagian Proyek Pengembangan Agribisnis Mangga dengan pola BPLM (Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat).

Pengembangan oleh dana OECF hanya dilakukan pada Kabupaten Situbondo. Dari proyek ini juga, pertumbuhan mangga kebun di Kabupaten Situbondo semakin meningkat.
Perkembangan mangga di Kabupaten Pasuruan secara besar-besaran terjadi juga pada Tahun 1996/1997 yaitu dengan adanya program PRT. Pada Tahun yang sama, ada juga program klonalisasi mangga untuk varietas Gadung di Pasuruan.
Program untuk Tahun 2008 – 2009 untuk Kabupaten Pasuruan yaitu adanya program peremajaan pohon yang dimaksudkan untuk mengganti pohon tua yang sudah tidak berproduksi oleh pohon baru dengan varietas yang diinginkan.

Perkembangan Komersialisasi Mangga di Jawa Timur
                Dari empat sentra produksi mangga (Probolinggo, Pasuruan, Situbondo, dan Bondowoso), terdapat dua yang menjadi pusat pemasaran mangga untuk  pertama kalinya. Probolinggo untuk Pasuruan dan Situbondo untuk Bondowoso.
Probolinggo merupakan daerah pertama yang mengkomersialisasikan mangga di Jawa Timur. Sudah sejak Tahun 1970an, Probolinggo telah mengirim mangga ke luar daerah. Probolinggo dapat memenuhi permintaan pasarnya karena didukung Kabupaten Pasuruan yang banyak menyuplai mangga ke Probolinggo. Kemudian baru pada Tahun 1994 ada investor asal Surabaya (Pak Umar Arif) yang mencoba mengembangkan mangga di Kecamatan Rembang Kabupaten Pasuruan untuk orientasi ekspor ke Timur Tengah dan kemudian berhasil. Sejak saat itu, Pasuruan memudidayakan mangga secara massal dan beberapa ada yang dikebunkan seperti PT. Friga pada Tahun 1996 dan Pasuruan telah mampu memasarkan sendiri mangganya, meskipun masih tetap berhubungan dengan beberapa eksportir dari daerah lain misalnya Pak Suli Artawi dari Probolinggo dan Pak H. Wawa dari Cirebon.
Situbondo mulai memasarkan mangganya sejak Tahun 1990an. Pekembangan pasar mangga di Situbondo tersebut terjadi ketika kebun mangga yang banyak dibangun di Situbondo telah berbuah. Kemudian, Situbondo dapat pasokan mangga dari Bondowoso sehingga Situbondo sangat terkenal dengan mangganya. Sementara Bondowoso karena pemasaran mangganya melalui jalur Situbondo, maka sampai saat ini Bondowoso masih belum dikenal secara umum. Bondowoso mulai memasarkan mangganya ketika Tahun 2008 dan masih sedikit pedagang lokal yang mencoba memasarkan ke luar daerah/ pulau. Disamping Bondowoso, Kediri pun saat ini dikenal sebagai sentra komersialisasi mangga Podang.


Perkembangan Pengelolaan Mangga Intensif
Probolinggo sudah mulai intensif ketika Tahun 1986 karena saat itu mangga asal Probolinggo telah berhasil menembus pasar nasional dan ekspor. Situbondo juga sudah mulai pengelolaan intensif sekitar Tahun 1986 dengan banyaknya dibangun kebun-kebun mangga. Sedangkan Pasuruan mulai intensif pada Tahun 1994 ketika ada investor dari Surabaya yang bertanam dan mengembangkan mangga ekspor. Kemudian petani yang lainnya di Pasuruan mengikutinya dengan dukungan program pemerintah (PRT/ Pertanian Rakyat Terpadu) pada Tahun 1996 juga adanya perkebunan mangga milik PT. Friga. Sedangkan Bondowoso baru memulai intensif sekitar Tahun 2004 ketika banyak permintaan kualitas mangga untuk ekspor dari eksportir asal Probolingo dan Surabaya yang datang ke Bondowoso.

Perkembangan Teknologi Budidaya Mangga
Pengenalan teknologi mangga secara umum untuk wilayah Jawa Timur telah dimulai pada Tahun 1984 ketika pertama kali varietas unggul Arumanis 143 dikenalkan. Teknologi baru sebatas pemupukan dan pengairan karena faktor utama mangga berbuah yaitu pada kebutuhan air dan unsur pupuk P dan K. Teknologi ini juga yang dipakai untuk meningkatkan persyaratan mutu mangga ekspor.
Pengenalan teknologi selanjutnya terjadi pada Tahun 1990an yaitu pengenalan Kultar untuk merangsang pembungaan. Kemudian selanjutnya perawatan intensif melibatkan patrogenol, perangkap kuning, dan panen selektif dengan menggunakan kertas koran yang ditandai yaitu ketika dimulai mangga kebun, yaitu sekitar Tahun 1996.
Varietas Arumanis pernah mengalami jenuh sehingga pada Tahun 2006/ 2007 mulai dikembangkan empat varietas lainnya yang berpotensi menjadi buah unggulan nasional. Benih pengembangan tersebut telah ditanam di wilayah Pasuruan seluas 221 ha dan ditanam pula di daerah Bandung.
Kemudian pada Tahun 2008 dikenalkan teknologi ‘tomboking’ untuk mengganti varietas mangga dalam satu pohon tanpa membongkar pohon yang telah ditanamnya tersebut. Teknologi ini dapat menyelesaikan kesalahan varietas yang diinginkan petani pada saat penanaman dilakukan.
Penyerapan teknologi tersebut setiap daerah berbeda-beda. Probolinggo dan Situbondo relatif lebih cepat menyerap teknologi tersebut karena mangga kebun intensif telah banyak dilakukan di dua kabupaten tersebut. Kedua kabupaten tersebut yang paling cepat mengadopsi setiap perkembangan teknologi yang terjadi. Sedangkan untuk Kabupaten Pasuruan, petani mulai merawat mangganya pada Tahun 1994 namun masih di lahan marginal. Kemudian pada Tahun 1996 baru teknologi diterapkan pada kebun mangga. Bondowoso mulai menerapkan teknologi sekitar Tahun 2004.


Perkembangan Mangga Off Season
Mangga off season pertama kali dikenalkan di Jawa Timur sekitar Tahun 1996. Probolinggo dan Situbondo mulai menerapkan mangga off season ketika Tahun 1996 tersebut dan Pasuruan mulai mengembangkan mangga off season ketika Tahun 2003, sedangkan Bondowoso mulai mengenalkan mangga off season ini tahun ini (Tahun 2010).



Informasi Tambahan:
Adanya peningkatan dan penurunan produksi yang tajam pada Tahun 2001 – 2003 dikarenakan beberapa hal, diantaranya pasar kebutuhan buah-buahan meningkat, panen serentak di beberapa kantong-kantong produksi karena mangga, dan karakteristik produksi khas pohon mangga dimana produktivitas akan naik turun setiap setahun sekali, misalnya tahun ini produktivitasnya tinggi, apabila tidak dipelihara maka tahun selanjutnya produktivitasnya akan menurun. Karena sebagian besar pohon mangga tidak dirawat, maka kemungkinan besar produksinya akan berfluktuasi dengan sangat tajam. Mangga juga memiliki siklus produksi 8 tahunan dimana setiap 8 tahun sekali, produksi mangga akan sangat tinggi. Hal ini disesuaikan dengan karakteristik pohon mangga sendiri.
Varietas Arumanis 143 dikenal sejak Tahun 1984. Sebelum Tahun 1984, maka varietas tersebut cukup dikenal dengan Arumanis. 143 merupakan nama klon.
Pasokan mangga ke pasar modern yang pasti terjadi setelah Tahun 1996, kemungkinan Tahun 2000an seiring meningkatkan pertumbuhan pasar ritail modern dalam negeri, namun Laporan Dinas Pertanian Jawa Timur Tahun 1985 menyebutkan pada Tahun tersebut mangga telah berhasil ekspor. Eksportir Surabaya yang pernah masuk ke daerah sentra produksi Pasuruan pada Tahun 1994 yaitu Pak Umar Arif. 


Senin, 18 Februari 2013

PANDUAN KEGIATAN IDENTIFIKASI LAHAN SAWAH


PEMETAAN LAHAN SAWAH



PANDUAN
KEGIATAN IDENTIFIKASI LAHAN SAWAH



TUGAS IDENTIFIKASI LAHAN SAWAH
1.     Membuat titik koordinat dengan menggunakan alat GPS pada setiap hamparan sawah/ padi yang ada dengan cara mendatangi setiap dugaan awal hamparan sawah pada peta kerja.
2.     Membuat titik koordinat dengan menggunakan alat GPS untuk saluran pangairan/ irigasi yang ada pada hamparan sawah irigasi.
3.     Mengabadikan hamparan sawah berikut saluran pengairan/ irigasinya dengan menggunakan kamera digital.
4.     Mencari informasi produktivitas padi dan indeks pertanaman (IP) kepada petani yang ada di sekitar hamparan sawah yang didatangi.
5.     Memasukkan hasil informasi dari alat GPS dan yang didapat dari petani ke dalam form identifikasi lahan sawah.
6.     Men-download hasil tracking GPS ke dalam laptop.




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
                Identifikasi lahan sawah merupakan salah satu kegiatan dalam pekerjaan pemetaan lahan sawah. Identifikasi yang dilakukan terhadap lahan sawah meliputi identifikasi luas dan jenis sawah, identifikasi jumlah produksi padi (produktivitas) dan indeks pertanaman (IP) pada setiap hamparan sawah, serta identifikasi kondisi saluran irigasi.
Kegiatan identifikasi lahan sawah tersebut secara garis besar terbagi ke dalam tiga jenis kegiatan. Pertama, kegiatan yang dilakukan di kantor atau base camp yaitu pembuatan deliniasi hamparan sawah pada peta kerja. Kedua, kegiatan yang harus langsung dilakukan di lapangan, seperti mendatangi setiap hamparan sawah beserta saluran irigasinya dan melakukan wawancara dengan petani sekitar lahan sawah untuk memperoleh informasi mengenai produktivitas dan indeks pertanaman (IP). Ketiga, kegiatan yang dilakukan setelah diperoleh data dan informasi yang dibutuhkan, yaitu pengisian form identifikasi lahan sawah.
Mengingat pentingnya aspek-aspek yang terkait dengan kegiatan identifikasi lahan sawah dan untuk mendapatkan keseragaman pemahaman diantara petugas (surveyor) identifikasi lahan sawah, maka diperlukan sebuah pedoman kegiatan untuk langkah-langkah pekerjaan yang harus dilakukan.
                Buku ini dimaksudkan sebagai pedoman utama bagi petugas (surveyor) identifikasi lahan sawah dalam melaksanakan kegiatan identifikasi lahan sawah. Buku ini mencakup langkah kerja identifikasi lahan sawah yang sesuai dengan aturan dan kesepakatan yang telah dibuat serta cara pengisian form identifikasi lahan sawah yang benar.

1.2. Tujuan Kegiatan
                Tujuan kegiatan identifikasi lahan sawah adalah untuk memberikan informasi mengenai jenis sawah pada hamparan yang didatangi, membuat titik koordinat (waypoint) di semua hamparan sawah beserta saluran irigasinya, memperoleh photo dari semua hamparan sawah beserta saluran irigasinya, serta mengetahui kondisi saluran irigasi, tingkat produktivitas padi, dan indeks pertanaman (IP) di setiap hamparan sawah.




BAB II
KONSEP DAN DEFINISI


2.1. Peta
                Peta adalah suatu bentuk/ gambar permukaan bumi pada bidang datar dengan skala tertentu melalui sistem proyeksi yang dilengkapi dengan simbol penjelas yang memberikan informasi tentang keadaan suatu wilayah.

2.2. Peta Kerja
Peta  kerja adalah peta citra skala 1:10.000 yang digunakan sebagai peta acuan dalam kegiatan pemetaan lahan sawah. Peta kerja yang digunakan adalah peta citra dari Bakosurtanal yang kemudian dideliniasi bagian gambar yang merupakan perkiraan lahan sawah dan diberi kode untuk setiap gambar hamparan sawah tersebut.

2.3. Hamparan Sawah
Hamparan sawah adalah luasan sawah yang tidak terpisah oleh jalan dan sungai yang dapat mempengaruhi luasan sawah tersebut. Untuk pekerjaan identifikasi lahan sawah ini satu hamparan sawah dapat pula disebut dengan satu poligon deliniasi.

2.4. Deliniasi
Deliniasi adalah penandaan hal yang dianggap penting dengan bentuk garis maupun lambang.

2.5. Titik Koordinat
Titik koordinat adalah suatu titik yang dihasilkan oleh pertemuan antara garis lintang dan garis bujur.

2.6. Waypoint
Waypoint adalah titik lokasi pada peta yang disimpan dalam memori sebagai arah untuk navigasi selanjutnya.

2.7. GPS (Global Positioning System)
GPS adalah sebuah sistem navigasi berbasiskan radio yang memberikan informasi posisi koordinat, kecepatan, waktu dan arah kepada pengguna di seluruh dunia yang menangkap sinyal dari satelit.

2.8. Kompas
Kompas adalah alat untuk menentukan arah timur, utara, barat, dan selatan.

2.9. Form Identifikasi Lahan Sawah
Form identifikasi lahan sawah adalah suatu halaman yang digunakan untuk memasukkan data hasil lapangan.

2.10. Sawah
                Sawah adalah lahan usaha pertanian yang secara fisik berpermukaan rata, dibatas oleh pematang, dan dapat ditanami padi, palawija, atau tanaman budidaya lainnya.

2.10.1. Sawah Irigasi
Sawah irigasi adalah sawah yang system penanamannya mengandalkan air dari saluran irigasi, tidak mengandalkan air hujan. Selama saluran irigasi tersebut masih dapat mengaliri air ke area pesawahan, maka sawah tersebut terus ditanami padi.
2.10.2. Sawah Tadah Hujan
Sawah tadah hujan adalah sawah yang sistem penanamannya hanya mengandalkan air hujan saja. Bila musim hujan datang sawah tersebut baru ditanami padi, dan apabila musim kemarau datang sawah tersebut tidak ditanami padi.
2.10.3. Sawah Pasang Surut
Sawah pasang surut adalah Sawah yang pengairannya tergantung pada air sungai yang dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut.
2.10.4. Sawah Lebak
Sawah lebak adalah sawah yang terletak pada dataran banjir.

2.11. Irigasi
Irigasi adalah saluran air yang menyediakan, membagi dan memberi air untuk areal tertentu.

2.12. Produktivitas Padi
Produktivitas padi adalah jumlah produksi padi GKP (Gabah Kering Panen) dalam satuan Ton per hektar.

2.13. Musim Tanam
Musim tanam adalah waktu yang digunakan untuk menanam padi.

2.14. Indeks Pertanaman (IP)
Indeks Pertanaman (IP) adalah jumlah penanaman pada suatu lahan dalam jangka waktu satu tahun.





BAB III
SISTEM DAN PROSEDUR KERJA

 3.1. Sistem Kerja
Sistem kerja identifikasi lahan sawah adalah pengecekkan lahan sawah apakah lahan sawah yang sudah dideliniasi pada peta kerja merupakan lahan sawah atau bukan. Apabila merupakan lahan sawah, maka diambil titik koordinat dengan menggunakan GPS ke tengah sawah dengan jarak minimal 20 meter dari pinggir sawah dan diambil juga photo lahan sawah tersebut. Selanjutnya, mencari informasi dengan wawancara ke petani sekitar lahan sawah mengenai saluran irigasi, produktivitas hasil padi, dan indeks pertanaman (IP) pada lahan sawah tersebut. Apabila terdapat saluran irigasi pada lahan sawah tersebut baik saluran irigasi sekunder/ tertier, maka diambil juga titik koordinat pada saluran tersebut (trackking GPS) kurang lebih 20 meter serta diambil photo saluran irigasi tersebut untuk mendukung informasi yang diperoleh.
Informasi yang diperoleh baik melalui alat GPS maupun dengan wawancara ke petani sekitar lahan sawah dimasukkan pada form identifikasi lahan sawah. Penomoran pada form tersebut harus sesuai dengan penomoran pada peta kerja. Form dan peta kerja kemudian ditanda tangan dan dicap/ stempel di kantor kecamatan setempat oleh petugas yang berwenang. Selanjutnya photo dan data GPS tersebut didownload ke laptop.

3.2. Prosedur Kerja
                Prosedur kerja kegiatan identifikasi lahan sawah merupakan standar operasional pekerjaan yang harus dilakukan surveyor dalam mengidentifikasi setiap hamparan lahan sawah. Prosedur kerja ini terbagi dalam tiga langkah pekerjaan yang harus dilakukan surveyor. Langkah-langkah kerja tersebut antara lain:

A. Langkah Kerja Tahap Pertama (Kantor atau Base Camp)
1.         Siapkan peta kerja (Peta Citra Skala 1:10.000)
2.         Deliniasi hamparan sawah yang ada di peta kerja.
3.         Tentukan titik kordinat bantu setiap hamparan yang ada pada peta kerja dengan menggunakan program Global Mapper yang ada pada laptop.
4.         Masukkan tiap titik koordinat bantu yang sudah dibuat ke dalam alat GPS.

 B. Langkah Kerja Tahap Kedua
1.         Cek semua peralatan yang dibutuhkan untuk ke lapangan.
2.         Nyalakan GPS dan tunggu sampai sinyal satelit tertangkap. Setelah itu, pastikan jejak atau log track dalam kondisi on pada layar menu kemudian simpan/ save track.
3.         Cari di layar menu, titik bantu koordinat/ waypoint yang paling dekat ke hamparan sawah yang dimaksud dan pilih GO TO pada titik bantu koordinat tersebut.
4.         Setelah sampai di satu hamparan, masuk ke dalam sawah kira-kira 20 meter dari pinggir sawah lalu tekan enter yang lama sampai keluar titik koordinat/ waypoint lalu simpan, kemudian mengambil photo hamparan sawah tersebut.
5.         Mencari saluran irigasi sekunder atau tersier lalu buat titik koordinat/ waypoint di titik pertama pada saluran irigasi tersebut, kemudian jalan menelusuri saluran irigasi tersebut dengan jarak kurang lebih 20 meter dan buat kembali waypoint titik kedua, kemudian mengambil photo saluran irigasi tersebut.
6.         Mencari petani di areal pesawahan atau ke rumah-rumah petani dekat areal pesawahan tersebut untuk bertanya mengenai informasi propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa untuk areal sawah tersebut serta menanyakan juga mengenai informasi saluran irigasi, produktivitas padi, dan indeks pertanaman (IP).

C. Langkah Kerja Tahap Ketiga
1.        Masukkan data dari alat GPS dan informasi dari petani ke dalam form identifikasi lahan sawah yang sudah disediakan.
2.        Download hasil tracking GPS dan photo hamparan sawah dan saluran irigasi ke dalam laptop.
3.        Salin/ copy file hasil tracking GPS dan photo ke dalam flashdisk, kemudian menyerahkannya kepada koordinator.




BAB IV
SISTEMATIKA ALUR KEGIATAN

                Kegiatan identifikasi lahan sawah meliputi tiga tahapan kegiatan yang dapat dilakukan di lokasi yang berbeda. Pertama, kegiatan di kantor atau base camp sebagai kegiatan perencanaan untuk hamparan sawah yang akan didatangi. Kegiatan ini meliputi pengecekka deliniasi hamparan sawah dan titik koordinat bantu untuk memudahkan pencapaian petugas (surveyor) ke lokasi hamparan sawah yang dituju. Kedua, kegiatan yang dilakukan di lapangan atau di hamparan sawah meliputi identifikasi luas dan jenis sawah, pembuatan titik koordinat/ waypoint  untuk hamparan sawah beserta saluran irigasinya, pengambilan photo hamparan sawah beserta saluran irigasinya, wawancara untuk memperoleh informasi mengenai kondisi saluran irigasi, tingkat produktivitas padi, dan indeks pertanaman (IP) di hamparan sawah tersebut. Setelah itu, data dan informasi yang diperoleh dimasukkan ke dalam form identifikasi lahan sawah yang harus selesai di lapangan yang kemudian akan ditanda tangan dan dicap (stempel) oleh petugas berwenang di lokasi hamparan sawah tersebut. Ketiga, kegiatan yang dilakukan di base camp yaitu men-download semua data dari alat GPS dan menyalin (copy) file photo hamparan sawah dan saluran irigasi.
Gambar berikut merupakan kegiatan yang dilakukan di lapangan (hamparan sawah)



BAB V
TATA CARA PENGISIAN
FORM IDENTIFIKASI LAHAN SAWAH


1.       Lembar peta diisi sesuai dengan nomor peta kerja.
2.       Kode hamparan diisi dengan mengurutkan hamparan sawah 1 dengan menuliskan H1 dan seterusnya sesuai dengan jumlah hamparan sawah yang ada dalam satu peta.
3.       Nama merupakan nama petugas (surveyor).
4.       Tanggal adalah tanggal dimana hamparan sawah tersebut dikunjungi.
5.       Propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa diisi sesuai dengan informasi yang ada di peta dan atau informasi dari warga sekitar hamparan sawah yang dikunjungi.
6.       Kondisi irigasi diisi dengan mencantumkan jumlah persentasi untuk irigasi yang baik dan buruk. Total penjumlahan harus 100 % sehingga apabila kondisi irigasi buruk tidak ada misalnya, maka harus diisikan 0 %.
7.       Jenis sawah diisi dengan cheklist di kolom yang sesuai dengan jenis sawah di hamparan yang dimaksud.
8.       Pengisian produktivitas dan indeks pertanaman (IP) harus sesuai dengan kolom jenis sawah. Produktivitas diisi dengan satuan Ton/ha untuk Gabah Kering Panen (GKP) dan indeks pertanaman (IP) diisi dengan angka 100 untuk masing-masing musim tanam apabila di hamparan sawah pada musim tanam tersebut dilakukan penanaman padi.
9.       Northern dan Eastern adalah titik koordinat yang ada di alat GPS.
10.   Keterangan diisi dengan mencantunkan file photo hamparan sawah beserta saluran irigasinya serta informasi lain yang berguna terkait hamparan sawah di lokasi tersebut.
11.   Tanda tangan dan cap dilakukan di kantor kecamatan setempat atau instansi lain setingkat kecamatan seperti UPT (Unit Pelaksana Teknis) Dinas Pertanian Kecamatan atau BPP (Badan Penyuluh Pertanian) Kecamatan.