I. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Perkembangan
aktivitas ekonomi di suatu wilayah memacu pengembangan wilayah itu sendiri
menjadi lebih ramai dan lebih padat penduduk. Ramainya penduduk meningkatkan kegiatan
untuk mencukupi kebutuhan pangan dan pemukiman dengan mengonversi lahan yang ada
menjadi lahan pertanian dan pemukiman. Konversi lahan menjadi lahan pertanian
dan pemukiman tidak akan menimbulkan masalah asalkan dilakukan bukan di kawasan
hutan lindung atau kawasan lain yang digunakan sebagai penyangga kehidupan untuk
kawasan lainnya, salah satunya kawasan resapan air.
Berubahnya
fungsi suatu kawasan tidak hanya disebabkan oleh masyarakat yang melakukan.
Penggunaan lahan yang tidak sesuai fungsinya sering dipicu oleh longgarnya
aturan pemerintah sehingga dapat dicari berbagai cara untuk melegalkan
pembangunan yang dilakukan. Komitmen terhadap rencana tata ruang harus diusung
kembali sehingga degradasi lahan tidak terjadi untuk kawasan yang dilindungi.
Kawasan Bandung Utara yang
sebagian wilayahnya masuk wilayah administrasi Kota Bandung dikenal sebagai
kawasan resapan air untuk wilayah di sekitarnya. Kawasan Bandung Utara
merupakan areal perbukitan yang mempunyai pengaruh cukup besar bagi tata air Cekungan
Bandung. Kawasan Bandung Utara dari tahun ke tahun telah
berkembang sedemikian rupa sehingga fungsi utamanya sebagai kawasan serapan air
saat ini semakin berkurang.
Berkurangnya kawasan
resapan air dikarenakan oleh konversi lahan kawasan resapan air di Kawasan
bandung Utara menjadi areal pertanian, sementara fungsi areal pertanian berubah
fungsinya (terkonversi) menjadi areal pemukiman. Hal tersebut didorong oleh jumlah
penduduk di kawasan Bandung Utara semakin meningkat. Jadi, kebutuhan lahan
untuk beraktivitas (pertanian) maupun untuk bermukim (pemukiman) akan semakin
tinggi seiring dengan semakin meningkatnya pertambahan jumlah penduduk.
Munculnya
kegiatan konversi lahan di kawasan tersebut memacu pula pertumbuhan ekonomi
masyarakat sekitar. Namun, perlu diukur sejauhmana dampak pembangunan Kawasan
Bandung Utara terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar sehingga ketika diberlakuan
peraturan yang tegas, harus diidentifikasi pula dampak lain yang akan
ditimbulkan untuk masyarakat sekitar.
Pernah ada
kesepakatan yang dibuat untuk penataan dan pengendalian lahan di Kawasan
Bandung Utara pada 30 Januari 2008 yang tertuang dalam Berita Acara Kesepakatan
Nomor: 130/O2/Hukum, 660/137-Bapp, 650/104/Bapeda, 180/O2-Perj/2008 dan 650/BA.2-Bappeda/2008,
dimana ada lima pihak yang bersepakat, yakni; Gubernur Jawa Barat Danny
Setiawan, Walikota Bandung Dada Rosada, Bupati Bandung Obar Sobarna, Walikota
Cimahi M.Itoch Tochija, dan Penjabat Bupati Bandung Barat Tjatja Kuswara.
Kesepakatan yang dibuat yaitu tentang “Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan
Bandung Utara”. Isi kesepakatan menyebutkan bahwa semua pihak tersebut sepakat
bahwa; (1) Untuk pengendalian pemanfaatan ruang Kawasan Bandung Utara diatur
dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat dengan tetap memperhatikan
kewenangan Pemkot Bandung, Pemkab Bandung, Pemkot Cimahi, dan Pemkab Bandung Barat. (2) seluruh aspek terkait petunjuk
pelaksanaan Perda Provinsi Jabar tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan
Bandung Utara akan dibahas dan disepakati bersama
oleh Pemprov Jabar, Pemkot Bandung, Pemkab Bandung, Pemkot Cimahi, dan Pemkab
Bandung Barat.
Perubahan penggunaan lahan
yang disebabkan oleh fenomena alam dan aktifitas manusia tersebut akan
menyebabkan degradasi lahan. Tanpa adanya usaha perbaikan, lahan yang tidak
sesuai fungsinya akan semakin luas dan berpotensi untuk menyebabkan bencana
bagi wilayah di sekitarnya. Disamping itu, lahan akan semakin menurun
kualitasnya dan pada akhirnya akan menjadi lahan kritis. Berdasarkan kondisi lahan di atas, maka perlu
diupayakan identifikasi dan pemetaan konservasi lahan yang sudah dilakukan di
Kawasan Bandung Utara untuk menggambarkan sejauhmana perubahan fungsi lahan
yang terjadi. Diperlukan pula kajian untuk menjelaskan perkembangan dari adanya
kesepakatan pemerintah mengenai pengendalian pemanfaatan ruang Kawasan Bandung
Utara tersebut serta dampaknya terhadap wilayah Kawasan Bandung Utara sendiri dan
pengaruhnya terhadap masyarakat sekitar. Setelah itu,
perlu diusulkan suatu rekomendasi yang dapat mengendalikan dan mengembalikan
lahan Kawasan Bandung Utara sesuai dengan perencanaan pemanfaatan dan fungsinya
semula.
2. Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud
dilakukannya penelitian ini adalah untuk menggambarkan kondisi wilayah dan
keadaan sosial ekonomi penduduk akibat pengembangan wilayah yang dilakukan di Kawasan
Bandung Utara, Kota Bandung. Sedangkan tujuan diadakannya penelitian ini yaitu untuk:
1.
Mengidentifikasi tingkat perubahan penggunaan lahan
(konversi lahan) yang terjadi di Kawasan Bandung Utara, Kota Bandung.
2.
Mengidentifikasi dampak perubahan nilai lahan
yang terjadi setelah terjadi konversi lahan.
3.
Mengidentifikasi kondisi sosial ekonomi
masyarakat sekitar Kawasan Bandung Utara setelah terjadi konversi lahan.
4.
Menganalisis kebijakan pemerintah daerah dalam
mengatur penggunaan lahan sesuai dengan fungsinya.
5.
Menyusun rekomendasi untuk pengembangan
Kawasan Bandung Utara.
3. Keluaran
Keluaran (output) yang diharapkan dari kegiatan
ini adalah sebagai berikut:
1.
Adanya gambaran sejauhmana tingkat perubahan
penggunaan lahan (konversi lahan) yang terjadi di Kawasan Bandung Utara, Kota
Bandung.
2.
Adanya informasi perubahan nilai lahan yang
terjadi setelah terjadi konversi lahan.
3.
Adanya gambaran kondisi sosial ekonomi
masyarakat sekitar Kawasan Bandung Utara setelah terjadi konversi lahan.
4.
Terbangun dan termanfaatkannya informasi
mengenai kebijakan pemerintah daerah dalam mengatur penggunaan lahan sesuai
dengan fungsinya.
5.
Adanya sebuah rekomendasi untuk pengembangan
pemanfaatan Kawasan Bandung Utara.
II. Tinjauan Pustaka
2.1. Pengembangan
Wilayah
Secara garis besar,
teori perkembangan wilayah di bagi atas 4 (empat) kelompok yaitu: Kelompok pertama adalah teori
yang memberi penekanan kepada kemakmuran wilayah (local prosperity). Kelompok kedua menekankan pada
sumberdaya lingkungan dan faktor alam yang dinilai sangat mempengaruhi
keberlanjutan sistem kegiatan produksi di suatu daerah (sustainable
production activity). Kelompok ini sering disebut sebagai sangat perduli
dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Kelompok ketiga memberikan
perhatian kepada kelembagaan dan proses pengambilan keputusan di tingkat lokal
sehingga kajian terfokus kepada governance yang bisa
bertanggung jawab (resposnsible) dan berkinerja bagus (good). Kelompok keempat perhatiannya
tertuju kepada kesejahteraan masyarakat yang tinggal di suatu lokasi (people
prosperity).
1. Teori Keynes
Teori ini dicetuskan oleh Keynes. Dalam aliran Keynes mengemukakan bahwa
karena upah bergerak lamban, sistem kapitalisme tidak akan secara otomatis
menuju keseimbangan penggunaan tenaga secara penuh (full employment
equilibrium). Akibat yang ditimbulkan adalah justru sebaliknya, equilibrium
deemployment yang dapat diperbaiki melalui kebijakan fiskal atau moneter untuk
meningkatkan permintaaan agregat.
2. Teori Neoklasik
Salah satu teori pengembangan wilayah dan kota menyatakan bahwa salah satu
pertumbuhan ekonomi adalah satu proses yang gradual di mana pada satu saat
kegiatan manusia semuanya akan terakumulasi. Dalam teori ini terdapat
pernyataan sebagai berikut :
-
Pemenuhan pekerjaan yang terus menerus tidak dapat diterapkan pada sistem
multi-regional dimana persoalan regional timbul disebabkan karena perbedaan-perbedaan
geografis dalam hal tingkat penggunaan sumber daya.
-
Persaingan sempurna tidak dapat diberlakukan pada perekonomian regional dan
spasial.
-
Tingkat pertumbuhan terdiri dari 3 sumber: akumulasi modal, penawaran
tenaga kerja dan kemajuan teknologi.
-
Implikasi dari persaingan sempurna adalah modal dan tenaga kerja akan
berpindah apabila balas jasa faktor-faktor tersebut berbeda-beda.
-
Modal akan bergerak dari daerah yang mempunyai tingkat biaya tinggi ke
daerah yang mempunyai tingkat biaya rendah, karena keadaan yang terakhir
memberikan suatu penghasilan yang lebih tinggi.
-
Tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan akan pindah ke daerah lain yang
mempunyai lapangan kerja baru pendorong untuk pembangunan di daerah tersebut.
-
Dalam perkembangan ekonomi jangka panjang senantiasa akan muncul kekuatan
tandingan yang dapat menanggulangi ketidakseimbangan dan mengembalikan
penyimpangan kepada keseimbangan yang stabil sehingga tidak diperlukan
intervensi kebijakan secara aktif.
3. Teori “inter” dan “intra” wilayah
oleh Mirdal (Era tahun 1950)
Dalam teori ini terdapat Pengertian ”backwash effects” dan ”spread
effects” Backwash effects contohnya adalah makin bertambahnya permintaan
masyarakat suatu wilayah kaya atas hasil-hasil dari masyarakat miskin berupa bahan
makanan pokok seperti beras yang sumbernya dari pertanian masyarakat wilayah
miskin. Sementara Spread effects contohnya adalah makin berkurangnya kualitas
pertanian masyarakat miskin akibat dampak negatif dari polusi yang disebabkan
oleh masyarakat wilayah kaya.
4. Teori Trickle down Effect
(Hirschman) EraTahun 1950
Trickle down effects adalah perkembangnan meluasnya pembagian pendapatan. Teori
“trickle down effects” dari pola pembangunan yang diterapkan di wilayah miskin
di negara berkembang dirasa tidak berhasil memecahkan masalah pengangguran,
kemiskinan dan pembagian pendapatan yang tidak merata, baik di dalam negara
berkembang masing maupun antara negara maju dengan negara berkembang. Misalnya
yang terjadi antara negara Indonesia (dalam hal ini dikategorikan wilayah
miskin) dan negara Jepang (wilayah kaya). Indonesia merupakan salah satu
pemasok bahan baku untuk Jepang, sementara kenyataan yang terjadi Jepang
semakin kaya dan Indonesia semakin miskin. Maksudnya, tingkat kemiskinan di
Indonesia lebih tinggi daripada tingkat kemiskinan di Jepang.
5. Teori Tempat Sentral oleh
Walter Christaller tahun 1933
Pada tahun 1933, Walter Christaller memusatkan perhatianya terhadap
penyebaran pemukiman, desa dan kota-kota yang berbeda-beda ukuran luasnya. Penyebaran
tersebut kadang-kadang bergerombol atau berkelompok dan kadang-kadang terpisah
jauh satu sama lain. Atas dasar lokasi dan pola penyebaran pemukiman dalam
ruang ia mengemukakan teori yang disebut Teori Tempat Yang
Sentral (Central Place Theory) (Nursid Sumaatmadja, 1981).
Model ini dikembangkan untuk suatu wilayah abstrak dengan ciri-ciri sebagai
berikut:
-
Wilayahnya adalah daratan, semua adalah datar dan sama.
-
Gerakan dapat dilaksanakan ke segala arah
-
Penduduk memiliki daya beli yang sama dan tersebar secara merata pada
seluruh wilayah.
-
Konsumen bertindak rasional sesuai dengan prinsip minimalisasi jarak/biaya.
-
Penerapan model ini sangat simple karena karakteristik, tingakt pendapatan
(daya beli) masyarakat hamper sama.
6. Teori Von Thunen
Membahas tentang perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan pertanian atas
dasar perbedaan sewa tanah (pertimbangan ekonomi). Asumsi-asumsi dalam model
Von Thunen:
-
Wilayah analisis bersifat terisolir sehingga tidak terdapat pengaruh pasar
dari kota lain.
-
Tipe pemukiman adalah padat di pusat wilayah (pusat pasar) dan makin
berkurang kepadatannya apabila menjauhi pusat wilayah.
-
Seluruh fasilitas model memiliki iklim, tanah dan topografi yang seragam.
-
Fasilitas pengangkutan adalah primitif (sesuai pada zamannya) dan relatif
seragam.
-
Ongkos ditentukan oleh berat barang yang dibawa kecuali perbedaan jarak ke
pasar, semua faktor alamiah yang mempengaruhi penggunaan tanah adalah seragam
dan konstan.
7. Teori lokasi biaya minimum
oleh Max Weber tahun 1929
Teori ini menganalisis
lokasi kegiatan industri. Asumsi-asumsi yang digunakan Weber:
-
Unit telaahan adalah suatu wilayah terisolasi, iklim yang homogen, konsumen
terkonsentrasi pada beberapa pusat, dan kondisi pasar adalah persaingan
sempurna.
-
Beberapa sumber daya alam seperti air, pasir dan batu bara tersedia
dimana-mana dalam jumlah yang memadai.
-
Material lainnya seperti bahan bakar mineral dan tambang tersedia secara
sporadis dan hanya terjangkau pada beberapa tempat terbatas.
-
Tenaga kerja tidak tersebar merata tapi berkelompok pada beberapa lokasi
dan dengan mobilitas yang terbatas.
8. Teori lokasi pendekatan
pasar (Losch)
Teori ini melihat persoalan dan sisi permintaan (pasar). Lokasi penjual
sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen. Makin jauh dari pasar, konsumen
enggan karena biaya transportasi tinggi.
9. Teori polarization effect
dan Trickle down effect (Hirchmant)
Dalam teori ini berpandapat bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi
secara bersamaan. Dalam teori ini terdapat system polarisasi perkembangan suatu
wilayah yang kemudian akan memberikan efek ke wilayah lainnya, atau dengan kata
lain, suatu wilayah yang berkembang akan membuat wilayah di sekitarnya akan
ikut berkembang.
10. Teori pusat pertumbuhan (Friedman)
Teori ini lebih menekankan pada pembentukan hirarki guna mempermudah
pengembangan system pembangunan dengan asumsi bahwa dengan adanya pusat
pertumbuhan akan lebih memudahkan dan pembangunan akan lebih terencana.
11. Teori dari Ir. Sutami tahun 1970
Beliau berpendapat bahwa pembangunan infrastruktur yang intensif untuk
mendukung pemanfaatan potensi sumber daya alam akan mampu mempercepat
pengembangan wilayah. Era transisi meberikan kontribusi lahirnya konsep hirarki
kota-kota dan dan hirarki prasarana jalan melalui orde kota.
Perkembangan wilayah tergantung dari sumber daya alam yang terdapat di
daerah tersebut, karena pada umumnya wilayah dengan pusat industri akan manarik
masyarakat untuk dating karena potensi lapangan pekerjaan terbuka luas.
Contohnya adalah adanya pembangunan infrastruktur industri pertambangan nikel
(PT. Inco) di sorowako membuat daerah sorowako yang dulunya terpencil berubah
menjadi kota industri (kota yang tercipta karena adanya industri) contoh
lainnya adalah Kabupaten Asiki (papua) berkembang karena adanya industri
tripleks di daerah tersebut (PT. Korindo)
12. Teori Kutub Pertumbuhan oleh Perroux
tahun 1955
Teori ini dikemukakan oleh Perroux pada tahun 1955, atas dasar pengamatan terhadap
proses pembangunan. Perroux mengakui kenyataan bahwa pembangunan tidak terjadi
dimana-mana secara serentak, tetapi muncul ditempat-tempat tertentu dengan
intensitas yang berbeda. Tempat-tampat itulah yang dinamakan titik-titik dan
kutub-kutub pertumbuhan. Dari titik-titik dan kutub-kutub pertumbuhan itulah
pembangunan akan menyebar melalui berbagai saluran dan mempunyai akibat akhir
yang berlainan pada perekonomian secara keseluruhan.
2.2. Konversi Lahan
Lahan (tanah) merupakan bagian dari ruang sehingga
pemanfaatan lahan harus sesuai dengan perencanaan tata ruang. Yang dimaksud
dengan pemanfaatan lahan merupakan penggunaan lahan pada fungsi waktu tertentu.
Penggunaan lahan merupakan suatu keadaan dimana suatu areal lahan ditempati
oleh vegetasi, bangunan, atau objek/ kegiatan lain, baik yang ditata maupun
yang tidak ditata.
Lahan
kritis merupakan lahan atau tanah yang saat ini tidak produktif karena
pengelolaan dan penggunaan tanah yang tidak atau kurang memperhatikan
syarat-syarat konservasi tanah dan air, sehingga lahan mengalami kerusakan,
kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang telah ditentukkan atau diharapkan. Secara umum lahan
kritis merupakan salah satu indikator adanya degradasi (penurunan kualitas)
lingkungan sebagai dampak dari berbagai jenis pemanfaatan sumber daya lahan
yang kurang bijaksana.
Ciri
utama lahan kritis adalah gundul, terkesan gersang dan bahkan muncul
batu-batuan di permukaan tanah dan pada umumnya terletak di wilayah dengan
topografi lahan berbukit atau berlereng curam (Hakim dkk., 1991). Tingkat
produksi rendah yang ditandai oleh tingginya tingkat keasaman, rendahnya unsur
hara (P, K, Ca, dan Mg), rendahnya kapasitas tukar kation, kejenuhan basa dan
kandungan bahan organik, serta tingginya kadar Al dan Mn yang dapat meracuni
tanaman dan peka terhadap erosi. Selain itu pada umumnya lahan kritis ditandai
dengan vegetasi alang-alang dan memiliki pH tanah relatif lebih rendah yaitu
sekitar 4.8 hingga 5.2 karena mengalami pencucian tanah yang tinggi serta
ditemukan rhizoma dalam jumlah banyak yang menjadi hambatan mekanik
dalam budidaya tanaman.
Faktor-
Faktor yang menyebabkan terjadinya lahan kritis, antara lain sebagai berikut:
1.
Kekeringan, biasanya terjadi
di daerah-daerah bayangan hujan.
2.
Genangan air yang
terus-menerus, seperti di daerah pantai yang selalu tertutup rawa-rawa.
3.
Erosi tanah dan masswasting yang
biasanya terjadi di daerah dataran tinggi, pegunungan, dan daerah yang
miring. Masswasting adalah gerakan masa tanah menuruni lereng.
4.
Pengolahan lahan yang kurang
memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan. Lahan kritis dapat terjadi di
dataran tinggi, pegunungan, daerah yang miring, atau bahkan di dataran rendah.
5.
Masuknya material yang dapat
bertahan lama kelahan pertanian (tak dapat diuraikan oleh bakteri) misalnya
plastic. Plastik dapat bertahan ± 200 tahun di dalam tanah sehingga sangat
mengganggu kelestaian kesuburan tanah.
6.
Pembekuan air,biasanya terjadi
daerah kutub atau pegunungan yang sangat tinggi.
Pencemaran, zat pencemar seperti pestisida dan limbah pabrik yang masuk ke
lahan pertanian baik melalui aliran sungai maupun yang lain mengakibatkan lahan
pertanian baik melalui aliran sungai maupun yang lain mengakibatkan lahan
pertanian menjadi kritis.Beberapa jenis pestisida dapat bertahan beberapa tahun
di dalam tanah sehingga sangat mengganggu kesuburan lahan pertanian.
Jika lahan kritis dibiarkan dan tidak ada perlakuan perbaikan, maka keadaan
itu akan membahayakan kehidupan manusia, baik secara langsung ataupun tidak
langsung. Maka dari itu, lahan kritis harus segera diperbaiki. Untuk
menghindari bahaya yang ditimbulkan oleh adanya lahan kritis tersebut,
pemerintah Indonesia telah mengambil kebijakan, yaitu melakukan rehabilitasi
dan konservasi lahan-lahan kritis di Indonesia.
Upaya
penagggulangan lahan kritis dilaksanakan sebagai berikut.
1.
Lahan tanah dimanfaatkan
seoptimal mungkin bagi pertanian, perkebunan, peternakan, dan usaha lainnya.
2.
Erosi tanah perlu dicegah
melalui pembuatan teras-teras pada lereng bukit.
3.
Usaha perluasan penghijauan
tanah milik dan reboisasi lahan hutan.
4.
Perlu reklamasi lahan bekas
pertambangan.
5.
Perlu adanya usaha ke arah
Program kali bersih (Prokasih).
6.
Pengolahan wilayah terpadu di
wilayah lautan dan daerah aliran sungai (DAS).
7.
Pengembangan keanekaragaman
hayati.
8.
Perlu tindakan tegas bagi
siapa saja yang merusak lahan yang mengarah pada terjadinya lahan kritis.
9.
Menghilangkan unsure-unsur
yang dapat mengganggu kesuburan lahan pertanian, misalnya plastik. Berkaitan
dengan hal ini, proses daur ulang sangat diharapkan.
10.
Pemupukan dengan pupuk organik
atau alami, yaitu pupuk kandang atau pupuk hijau secara tepat dan
terus-menerus.
11.
Guna menggemburkan tanah
sawah, perlu dikembangkan tumbuhan yang disebutAzola.
12.
Memanfaatkan tumbuhan eceng
gondok guna menurunkan zat pencemaran yang ada pada lahan pertanian. Eceng
gondok dapat menyerap pat pencemar dan dapat dimanfaatkan untuk makanan ikan.
Namun, dalam hal ini kita harus hati-hati karena eceng gondok sangat mudah
berkembang sehingga dapat menggangu lahan pertanian.
Lahan potensial adalah lahan yang belum dimanfaatkan atau belum diolah dan jika
diolah akan mempunyai nilai ekonimis yang besar karena mampunyai tingkat
kesuburan yang tinggi dan mempunyai daya dukung terhadap kebutuhan manusia.
Lahan potensian merupakan modal dasar dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Untuk itu harus ditangani dan dikelola secara bijak. Daerah diluar
jawa banyak memiliki daerah produktif yang sangat potensial, tetapi belum atau
tidak dimanfaatkan sehingga daerah ini dikenal dengan daerah yan sedang tidur.
Dengan pertumbuhan penduduk
dan ekonomi, tekanan terhadap tanah semakin meningkat. Hutan di luar pualu jawa
di ubah menjadi lahan pertanian, kawasan pertambangan, dan perkebunan.
Sementara itu, lahan pertanian di pulau Jawa diubah menjadi kawasan pemukiman
dan industri serta waduk. Kehutanan, pertambangan, dan pertanian juga dapat
membuat tanah menjadi tidak produktif untuk kegiatan ekonomi lebih lanjut.
Program untuk meningkatkan
produksi pangan dan perluasan pemukiman dalam skala besar-besaran telah
memberikan kontribusi dalam pembukaan hutan dan belukar. Hal ini menyebabkan
meningkatnya erosi, berkurangnya kesuburan dan produktivitas lahan, serta
hilangnya habitat. Walaupun sejumlah kawanan alami, baik daratan maupunhutan,
telah dilindungi dari dampak kegiatan manusia melalui penetapannyasebagai cagar
alam dan taman nasional, sejumlahbesar lahan masih belum diusahakan oleh
manusia secara optimal.
Lahan potensial merupakan
modal dasar dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidp manusia. Maka dari itu,
harus ditangani secara bijaksana dalam pemanfaatan lahan potensial dan jangan
sampai malah merusak lingkungan.
Lahan potensial tersebar di tiga wilayah utama daratan, yaitu di daerah pantai, dataran
rendah, dan dataran tinggi. Lahan-lahan di wilayah pantai didominasi oleh tanah
alluvial (tanah hasil pengendapan). Tanahini cukup subur karena banyak
mengandung mineral-mineral yang diangkut bersama lumpur oleh sungai kemidian
diendapkan di daerah muara sungai.
Mulai dataran pantai sampai
ketinggian 300 m dari permukaan laut merupakan areal lahan dataran rendah. Bila
curah hujannya cukup memadai, zona dataran rendah ini merupakan wilayah lahan
hutan hujan tropis yang sangat subur. Mulai ketinggian 500 meter di
atas permukaan laut merupakan wilayah tanah tinggi, kondisi wilayahnya
merupakan lahan bergelombang, berbukit-bukit sampai daerah pegunungan. Bagi
daerah-daerah tanah tnggi yang dipengaruhi oleh gunung berapi,kondisi lahannya
di dominasi oleh tanah vulkanik yang subur yang terkandung mineral haranya
cukup tinggi.
Daerah pegunungan yang memiliki
curah hujan tinggi, merupakan daerah yang rawan erosi tanah. Selain proses
erosi, di daerah-daerah yang memiliki crah hujan tinggi keadaan tanahnya
biasanya berwarna merah kecoklatan (pucat), karena unsure-unsur hara dan
humusnya banyak tercuci dan terhanyutkan oleh air hujan. Jenis tanah ini kurang
subur. Conth tanah yang sudah banyak mengalami pencucian di antaranya tanah
latosol dan tanah podzolik serta tanah laterit.
Upaya-upaya pelestarian dan
peningkatan manfaat lahan-lahan potensial dilaksanakan antara lain dengan cara
berikut:
1.
Merencanakan penggunaan lahan
yang digunakan manusia.
2.
Menciptakan keserasian da
keseimbangan fungsi dan intensitas penggunaan lahan dalam wilayah tertentu.
3.
Merencanakan penggunaan lahan
kota agar jangan sampai menimbulkan dampak pencemaran.
4.
Menggunakan lahan seoptimal
mungkin bagi kepentinganmanusia.
5.
Memisahkan penggunaan lahan
untuk permukiman, industry, pertanian, perkantoran, dan usaha-usaha lainnya.
6.
Membuat peraturan
perundang-undangan yang meliputi pengaliahn hak atas tanah untuk kepentingan
umum dan peraturan perpajakan.
7.
Melakukan pengkajian terhadap
kebijakan tata ruang, perijinan, dan pajak dalam kaitannya dengan konversi
penggunaan lahan.
8.
Menggunakan teknologi pengolahan tanah, penghijauan, reboisasi, dan pembuatan sengkedan
di aderah pegunungan.
9.
Perlu usaha pemukiman penduduk
dan pengendalian peladang berpindah.
10.
Mengelola dengan baik daerah
aliran sungai, daerah pesisir, dan daerah di sekitar lautan.
2.3. Konsep Tata Ruang
Teori-teori pengembangan wilayah
menganut berbagai azas atau dasar dari tujuan penerapan masing-masing teori.
Kelompok pertama adalah teori yang memberi penekanan kepada kemakmuran wilayah
(local prosperity). Kelompok kedua
menekankan pada sumberdaya lingkungan dan faktor alam yang dinilai sangat
mempengaruhi keberlanjutan sistem kegiatan produksi di suatu daerah (sustainable
production activity). Kelompok ini sering disebut sebagai sangat perduli
dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Kelompok
ketiga memberikan perhatian kepada kelembagaan dan proses pengambilan keputusan
di tingkat lokal sehingga kajian terfokus kepada governance yang bisa
bertanggung jawab (resposnsible) dan berkinerja bagus (good).
Kelompok keempat perhatiannya tertuju kepada kesejahteraan masyarakat yang tinggal
di suatu lokasi (people prosperity).
Dalam kaitan tersebut keseluruhan
kelompok teori tersebut tidak seluruhnya bertentangan satu dengan yang lainnya,
namun dalam penggunaanya dapat dijadikan suatu sinergi. Hal ini sejalan dengan
prinsip dasar yang terkandung dalam Undang-Undang Penataan Ruang yang
menyatakan bahwa penataan ruang merupakan suatu proses yang didalamnya
terkandung muatan proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, serta
pengendaliannya. Konsep dasar penataan ruang wilayah dan kota dengan pendekatan
pengembangan wilayah pada dasarnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan menjamin lingkungan hidup yang berkelanjutan dengan
memperhatikan keunggulan komparatif di suatu wilayah, dan mengurangi
kesenjangan pembangunan dengan mengurangi kawasan-kawasan yang miskin, kumuh
dan tertinggal. Salah satu kegiatannya
adalah peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap faktor-faktor produksi,
pengolahan dan pemasaran, serta mendorong dan memfasilitasi masyarakat dengan
sarananya. Pengembangan wilayah dilakukan menitikberatkan pada aspek ruang atau
lokasi untuk mengoptimalisasi sumber daya alam yang ada dalam rangka
peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.
Penataan ruang merupakan suatu langkah
pendekatan spasial untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Dengan
berlakunya UU No. 22 tahun 1999, pelaksanaan kegiatan pengembangan wilayah dan
pembangunan perkotaan dilaksanakan dengan pendekatan bottom-up dan melibatkan semua pelaku pembangunan (stakeholders) pada setiap tahap
pembangunan. Pengembangan wilayah dan pembangunan perkotaan secara realistis
memperhatikan tuntutan dunia usaha dan masyarakat dalam rangka pemenuhan
kebutuhan sarana dan prasarana sehingga aktivitas perekonomian dalam wilayah
atau kawasan dapat berjalan dengan baik, yang selanjutnya dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, sekaligus untuk menjaga dan meningkatkan mutu
lingkungan.
Untuk mendukung pelaksanaan otonomi
daerah, ada dua hal yang dapat dilakukan
pemerintah pusat. Pertama, adalah dengan memfasilitasi peningkatan kemampuan
pemerintah daerah. Pemerintah, sebagaimana digariskan oleh UU 22/1999,
memfasilitasi dengan cara pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan
supervisi. Salah satu contoh penting untuk tersebut adalah adanya pedoman standar
pelayanan minimal untuk bidang penataan ruang dan permukiman yang dikeluarkan
oleh Depkimpraswil. Dengan adanya standar tersebut, maka pemerintah daerah
wajib untuk memenuhi kebutuhan minimal warganya dalam kebutuhan prasarana
maupun bidang penataan ruang antara lain: keharusan adanya RTRW Kota dan RDTR
pada kawasan strategis, fasilitas perizinan (IMB dan izin lokasi), sistem
informasi, unit pengaduan, dan pemeriksaan berkala dalam rangka pengendalian
pemanfaatan ruang. Namun demikian, fasilitasi tersebut secara konsisten tetap
memperhatikan ide dan gagasan asli (genuine)
yang bersumber dari masyarakat dan pelaku pembangunan perkotaan.
Pemerintah pusat merupakan “penjaga”
kepentingan nasional. Karena itu, peran yang kedua adalah pemerintah pusat juga
mengeluarkan kerangka perencanaan makro seperti struktur tata ruang nasional.
Pada tingkatan rencana makro tersebut, yang merupakan fokus penataan adalah
bagaimana mewujudkan struktur perwilayahan melalui upaya mensinergikan antar
kawasan yang antara lain dicapai dengan pengaturan hirarki fungsional yaitu:
sistem kota-kota, sistem jaringan prasarana wilayah, serta fasilitasi kerjasama
lintas propinsi, kabupaten, dan kota.
Strategi pembangunan wilayah dan
perkotaan mempunyai prinsip dasar pembangunan dari masyarakat untuk masyarakat
dan oleh masyarakat. Hal ini dapat tercapai bila proses pembangunan berakar
pada kemampuan sumber daya alamnya dan kreativitas seluruh pelaku pembangunan. Terkait dengan prinsip dasar tersebut,
pemerintah harus mengupayakan bentuk-bentuk partisipasi yang efektif dan
produktif. Pemerintah pusat dalam hal ini adalah fasilitator untuk pencapaian community driven planning tersebut.
Dengan demikian proses pelaksanaan pengembangan wilayah dan kota diharapkan
akan mencapai hasil secara efektif dengan memanfaatkan sumber daya secara
efisien dan ditangani melalui kegiatan penataan ruang.
Strategi kebijaksanaan penataan ruang
disusun dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.
Keterpaduan program, bagi semua sektor dengan
memperhatikan lintas sektoral tetapi juga lintas wilayah melalui kerangka
pengembangan wilayah atau kawasan.
b.
Pendekatan yang mengedepankan peran masyarakat
dalam pembangunan.
c.
Sinerji pembangunan dengan memperhatikan
potensi dan keunggulan lokal dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d.
Akomodatif terhadap berbagai masukan,
kemitraan dengan seluruh stakeholder dan transparansi dalam pelaksanaan
pembangunan.
e.
Mengupayakan pelaksanaan pembangunan yang
konsisten terhadap rencana tata ruang.
f.
Penegakkan hukum yang konsisten. Dengan
penegakan hukum, diharapkan dapat terhindari kepentingan sepihak, dan
terlaksanananya pembagian peran yang “seimbang” antar seluruh pelaku
pembangunan.
g.
Melakukan kerja sama antar wilayah untuk
menciptakan sinerji pembangunan.
Dalam
kaitan dengan strategi pengembangan perkotaan, beberapa hal dapat menjadi
pertimbangan, seperti:
1)
Penanganan pembangunan kota yang bersifat
mendesak dan jangka pendek
a.
Kebijakan pembangunan kota diarahkan pada
pemulihan kondisi kota dan pengembalian fungsi kota untuk segera dapat menjamin
keamanan dan kenyamanan kehidupan kota, terutama di kota-kota metropolitan dan
besar.
b.
Kebijakan pembangunan kota sebagai upaya
menjamin kelangsungan kegiatan-kegiatan dan program-program pembangunan yang
sedang berjalan.
2)
Penanganan pembangunan kota berkelanjutan
(jangka menengah dan panjang)
a.
Meningkatkan peran pembinaan pembinaan
perkotaan bagi daerah dalam pembangunan perkotaan
b.
Mendorong dan meningkatkan kapasitas pusat
maupun daerah dalam pengelolaan
pembangunan kota yang lebih efisien dan efektif melalui pelatihan pengembangan
untuk meningkatkan kemampuan sumber daya.
c.
Mengurangi ketidakseimbangan pertumbuhan
kawasan kota
d.
Mendorong usaha pelestarian sumber daya alam
dan buatan serta pemulihan kota
e.
Meningkatkan daya saing kota sesuai dengan
potensi yang dimiliki.
f.
Mendorong keterkaitan desa-kota melalui
peningkatan aksesibilitas kota-desa dan mengembangkan fasilitas dan sarana
produksi.
III. Metode Penelitian
3.1.
Kerangka Pemikiran
Kawasan Bandung utara adalah kawasan yang meliputi
sebagian wilayah Kota Bandung, Kabupaten
Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi dengan di sebelah utara dan
timur dibatasi oleh punggung topografi yang menghubungkan puncak Gunung
Burangrang, Manglayang, sedangkan di sebelah barat dan selatan dibatasi oleh
garis (kontur) 750m dpl. Kawasan Bandung Utara dikenal sebagai kawasan
resapan air untuk wilayah di sekitarnya.
Permasalahan yang terjadi saat ini
yaitu adanya konversi lahan dari kawasan resapan air menjadi lahan pertanian,
di satu sisi terjadi pula konversi lahan pertanian menjadi lahan pemukiman
sering dengan berkembangan aktivitas pembangunan di Kawasan Bandung Utara serta
bertambahnya jumlah penduduk.
Kondisi saat ini dimana terjadi
banyak pembangunan pemukiman di Kawasan Bandung Utara menjadi issue yang sangat tajam dan muncul
berbagai polemik. Disinyalir adanya peraturan yang tidak tegas terhadap
kelompok masyarakat menjadikan pengelolaan tata ruang dan pengunaan lahan di
kawasan tersebut menjadi tidak teratur. Untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut, perlu suatu kajian yang dapat memetakan Kawasan Bandung Utara dilihat
dari berbagai aspek sehingga dapat disimpulkan untuk perencanaan fungsi kawasan
tersebut ke depannya. Banyaknya perubahan penggunaan lahan (konversi lahan)
menyebabkan perubahan pula pada nilai lahan serta berpengaruh terhadap kondisi
sosial ekonomi masyarakat sekitar. Dari kajian tersebut akan memunculkan suatu
rekomendasi untuk pengelolaan Kawasan Bandung Utara selanjutnya.
3.2.
Kebutuhan dan Analisis Data
Data
yang dibutuhkan untuk penelitian ini yaitu data primer dan sekunder. Data
primer diperoleh langsung melalui wawancara dengan kuesioner, wawancara
mendalam (Indepth Interview), dan PRA
(Participatory Rural Apraisal). Data
sekunder diperoleh dari BPS (Badan Pusat Statistik), dinas atau instansi
terkait berupa regulasi atau Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah, laporan-laporan
LSM/ NGO, penelitian-penelitian yang
telah dilakukan universitas, dan jurnal (studi literatur).
Analisis
data akan dilakukan dengan analisis deskriptif dan analisis kuantitatif.
Analisis deskriptif untuk menggambarkan kondisi lahan di Kawasan Bandung Utara
yang masuk dalam wilayah administrasi Kota Bandung serta kondisi sosial
ekonomi masyarakat dari adanya pembangunan di wilayah tersebut. Sementara,
analisis kuantitatif dilakukan untuk menganalisis kebijakan pemerintah mengenai
tata ruang dan penggunaan lahan yang telah dilakukan. Kemudian dilakukan pula
analisis untuk memunculkan rekomendasi kebijakan dan pengelolaan tata ruang
untuk Kawasan Bandung Utara, Kota Bandung.
3.3.
Lokasi dan Responden Penelitian
Lokasi penelitian akan dilakukan di Kawasan
Bandung Utara, Kota bandung. Wilayah Kawasan Bandung Utara sendiri memliki luas sekitar 38.548 hektar. Secara administratif meliputi
3 wilayah
yakni Kota Bandung (10 kecamatan/35 kelurahan), Kabupaten Bandung (9
kecamatan/62 desa), dan Kota Cimahi (2 kecamatan/9 kelurahan). Kajian ini
difokuskan untuk Kawasan Bandung Utara yang masuk wilayah administrasi Kota Bandung.
Secara geografis Kota Bandung terletak
di wilayah Jawa Barat dan merupakan Ibu kota Provinsi Jawa Barat. Kota Bandung
terletak di antara 1070 – 430 Bintang Timur dan 60 00 – 60 20 Lintang Selatan
dengan luas wilayah 16.729,50 Ha. (167,67 Km2). Kota Bandung
terletak pada ketinggian 768 meter di atas permukaan laut, titik tertinggi di
daerah Utara dengan ketinggian 1.050 meter dan terendah di sebelah Selatan
adalah 675 meter di atas permukaan laut.
Kota Bandung Bandung dikelilingi oleh
pegunungan, sehingga Bandung merupakan suatu cekungan (Bandung Basin), di
bagian Selatan permukaan tanah relatif datar, sedangkan di wilayah Kota Bandung
bagian Utara berbukit-bukit.
Adapun batas-batas administratif Kota
Bandung, sebagai berikut :
1.
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan
Lembang Kabupaten Bandung Barat.
2.
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan
Cileunyi Kabupaten Bandung.
3.
Sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Terusan
Pasteur Kecamatan Cimahi Utara, Cimahi Selatan, dan Kota Cimahi.
4.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan
Dayeuh Kolot, Bojongsoang, Kabupaten Bandung.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 06 Tahun 2008
Tentang perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 06 Tahun 2006
Tentang Pemekaran dan Pembentukan Wilayah Kerja Kecamatan Dan Kelurahan di
Lingkungan Pemerintah Kota Bandung, wilayah administratif kecamatan dan
kelurahan Kota Bandung terdiri dari tiga puluh (30) kecamatan dan seratus lima
puluh satu (151) kelurahan.
Responden penelitian adalah warga di
wilayah Kawasan Bandung Utara yang masuk ke dalam wilayah administrasi Kota
Bandung. Jumlah penduduk untuk Kawasan Bandung Utara secara keseluruhan sebanyak
11. 784 jiwa. Responden terdiri dari berbagai elemen masyarakat. Penelitian akan
didukung juga informasi dari Key Informan.
Key Informan terdiri dari petugas
dari instansi pemerintahan, pihak akademisi atau pakar tata ruang, dan LSM atau
NGO yang fokus untuk permasalahan
perkotaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar