I.
PENDAHULUAN
I.1.
Latar
Belakang
Berkembangnya
sistem pertanian modern ditandai dengan perubahan orientasi pada pemanfaatan
sumber daya lokal seperti pemberian pupuk organik, pengendalian hama dan
penyakit tanaman yang ramah lingkungan, serta usaha-usaha lain yang mendorong
meningkatnya pendapatan petani serta terciptanya nilai tambah produk yang
dihasilkan. Seiring dengan perkembangan tersebut, harus ada upaya dan teknologi
maju untuk mengiringi dan memfasilitasi usaha petani dalam menciptakan dan
menerapkan sistem pertanian modern di lahan sawah.
Salah
satu pemanfaatan sumber daya lokal yang paling dekat dengan petani yaitu
pemanfaatan limbah jerami setelah panen untuk digunakan sebagai bahan baku
pupuk organik dengan cara pengomposan. Limbah jerami yang ada saat ini sebagian
besar dimusnahkan petani dengan cara dibakar. Pembakaran jerami ini
mengakibatkan berbagai hal seperti terciptanya CO2 (polusi udara),
rusaknya tanah (struktur dan tekstur tanah) di lahan yang dibakar, menurunkan
tingkat kelembaban tanah, serta matinya organisme tanah yang bermanfaat untuk
kesuburan tanah.
Pembakaran
jerami yang dilakukan petani biasanya masih menyisakan jerami dna tunggul padi
yang tidak ikut terbakar. Sisa jerami dan tunggul padi tersebut apabila tidak
dilakukan pengomposan segera, maka jerami dan tunggul padi yang tersisa
tersebut akan ikut dalam pengolahan lahan sehingga jerami dan tunggul padi
bercampur dengan tanah. Jerami dan tunggul padi yang telah bercampur dengan
tanah dan terairi kemudian akan mengalami proses pembusukan. Proses pembusukan
ini biasanya terjadi pada saat bibit padi telah ditanam sehingga menyebabkan
kuningnya bibit padi tersebut. Antisipasi petani atas kondisi menguningnya
bibit padi tersebut dilakukan dengan aplikasi Urea. Hal inilah yang dapat
menyebabkan kebutuhan Urea (pupuk kimia) semakin meningkat.
Oleh
karena itu, pengomposan terhadap jerami dan tunggul padi pasca panen merupakan
upaya yang sangat mudah dan secara nyata dapat menguntungkan petani dari
berbagai hal. Upaya pengomposan yang saat ini dirasakan paling efektif yaitu
dengan menggunakan bantuan bakteri untuk mempercepat proses pengomposan. Prakarsa
ini menawarkan solusi bagi petani padi sawah untuk menangani jerami dan tunggul
padi dengan bantuan bakteri yang mempercepat proses pengomposan jerami dan
tunggul padi serta berguna untuk meningkatkan kesuburan tanah.
I.2.
Tujuan
dan Manfaat prakarsa yang diajukan
Tujuan
prakarsa ini yaitu:
1. Mempersiapkan
lahan sawah untuk ditanami padi secara cepat.
2. Menanggulangi
limbah jerami pasca panen padi sawah tanpa pembakaran.
3. Memanfaatkan
jerami sebagai penyedia unsur hara yang dibutuhkan tanaman padi.
Adapun
manfaat yang diharapkan dari prakarsa yang diajukan ini adalah:
1. Memberikan
peluang bertambahnya pola tanam dalam satu tahun dan atau mencegah kehilangan
waktu tanam padi sawah yang disebabkan oleh gagalnya benih yang ditanam.
2. Berkurangnya
polusi udara yang disebabkan dari pembakaran jerami di lahan sawah.
3. Menurunkan
penggunaan pupuk kimia oleh petani karena tersedianya unsur hara yang melimpah
di lahan sawah.
I.3.
Kontribusi
yang diharapkan untuk Jawa Barat
Prakarsa
ini apabila dilaksanakan secara baik dan sesuai prosedur yang ditetapkan, maka
akan ada kontribusi yang nyata untuk masyarakat pertanian Jawa Barat.
Kontribusi tersebut yaitu:
1. Meningkatkan
produktivitas padi sawah sehingga meningkatkan pula pendapatan dan
kesejahteraan petani. Meningkatnya pendapatan akan meningkatkan nilai IPM (Indeks
Pembangunan Manusia) masyarakat Jawa Barat.
2. Mempercepat
penanaman padi sawah sehingga petani dapat menambah pola tanamnya serta dapat
mengantisipasi kegagalan benih padi yang ditanam. Kondisi ini dapat juga meningkatkan
nilai IPM masyarakat Jawa Barat.
Mengantisipasi pembakaran jerami yang biasa
dilakukan oleh petani sehingga dapat menurunkan kadar CO2 yang
dihasilkan atau dapat menurunkan dan atau menghilangkan salah satu sumber
polusi udara.
II.
PRAKARSA
II.1.
Kondisi
masyarakat yang menjadi pencetus prakarsa
Luas
lahan sawah di Jawa Barat lebih dari 930 ribu hektar dengan petani penggarap
yang sebagian besar belum melakukan pengomposan terhadap jerami dan tunggul
padi yang dihasilkannya. Menurut Kim dan Dale (2004) dalam
http://lemahlanang.wordpress.com/2013/01/23/kandungan-jerami-padi/ menyebutkan
bahwa potensi jerami yang dihasilkan dari pasca panen usahatani padi sawah
yaitu 1,4 kali dari hasil panennya. Jadi apabila hasil panen petani (GKG)
sekitar 6 Ton per ha, maka jerami yang dihasilkan sekitar 8,4 Ton per ha.
Apabila luas lahan sawah Jawa Barat mencapai 930 ribu hektar, maka jerami yang
tersedia sekitar 7,8 juta Ton.
Namun
apabila jerami tersebut dapat dibuat pupuk kompos dengan rendemen 60 %, maka
potensi petani Jawa Barat menghasilkan kompos sebanyak 4,7 juta Ton kompos
jerami. Potensi tersebut sangat besar dan akan mengurangi penggunaan pupuk
kimia yang dilakukan petani sehingga biaya usahatani padi sawah akan berkurang
dengan kemungkinan hasil yang lebih berkualitas.
II.2.
Pemecahan
masalah yang ditawarkan melalui prakarsa
Jerami
dan tunggul padi yang berada di lahan sawah mutlak harus dikompos sehingga
tidak mengganggu perkembangan dan pertumbuhan tanaman padi selanjutnya. Pengomposan
jerami lebih efektif dilakukan di lahan sawah dengan bantuan bakteri dengan
aplikasi cukup dilakukan perendaman. Teknik pengomposan dahulu yang pernah
diujicoba petani pada akhirnya tidak dapat dilanjutkan karena teknis yang
menyulitkan petani dalam memindahkan jerami dari lahan sawah dan kemudian
memotong jerami tersebut. Dengan bantuan bakteri pengomposan yang hidup dalam
air, cukup dengan merendam jerami tersebut dan menunggu sampai hari ketujuh
dimana jerami tersebut akan lumat dimakan bakteri dan lahan sawah akan mudah
diolah.
Prakarsa
ini mengenalkan bakteri yang efektif untuk pengomposan jerami secara cepat
dengan hasil yang memuaskan dan signifikan bagi peningkatan produktivitas padi
petani sehingga pembakaran jerami oleh petani dapat dihindari. Banyak
keuntungan yang diperoleh ketika petani memutuskan untuk tidak membakar
jeraminya.
II.3.
Landasan
teori
1. Pertanian
Organik
Pertanian
organik adalah sistem manajemen produksi terpadu yang menghindari penggunaan
pupuk buatan, pestisida dan hasil rekayasa genetik, menekan pencemaran udara,
tanah, dan air. (Sumber: http://taniternakbudidaya.blogspot.com/2012/12/memahami-sistem-pertanian
-organik.html)
Sistem
Pertanian Organik ini bermanfaat untuk:
a) Tanaman yang
dihasilkan bebas dari residu atau sisa-sisa pestisida dan bahan kimia lainnya
yang disebabkan oleh aktifitas pemupukan.
b) Tanaman yang
dihasilkan lebih sehat dan segar.
c) Tanaman yang
dibudidayakan secara ogannik ini mampu menjaga kelestarian dan keseimbangan
alam.
Budidaya
tanaman dengan sistem pertanian organik ini pada dasarnya adalah menghindari
segala pemakaian bahan kimia terhadap tanah maupun tanaman. Penerapan dari
sistem pertanian organik ini adalah:
a) Penggunaan
bahan alami untuk kesuburan tanah.
b) Tidak
menggunakan bahan kimia dalam budidaya.
Pertanian
Organik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a) Menyuarakan aspek
lingkungan, sosial dan ekonomi berkesinambungan.
b) Aspek
alamiah dan kondisi lingkungan sekitar merupakan sumber penunjang produksi yang
utama.
c) Mengurangi
penggunaan bahan penunjang dari luar.
d) Rotasi
tanaman.
e) Sistem
budidaya secara tumpang sari atau polikultur.
f) Pengendalian
OPT secara biologis.
g) Varietas
tanaman yang resisten.
h) Tidak
menggunakan zat kimia.
i) Mencegah
erosi dan Pengelolaan air.
j) Daur ulang
nutrisi atau unsur hara dari dalam tanah.
2. Pengomposan
Kompos
merupakan campuran pupuk dari bahan organik yang berasal dari tanaman (jerami,
batang jagung, kacang tanah, kedelai, buah, sampah kota, dan kelapa sawit) atau
hewan atau keduanya yang telah melapuk sebagian dan dapat berisi
senyawa-senyawa lain seperti abu dan kapur (Sumber: Kementan RI, 2009).
Bahan
organik tidak dapat secara langsung diserap oleh tanaman karena rasio C/N bahan
organik segar masih tinggi (jerami 50-70, dedaunan 50-60, kayu-kayuan >400)
sehingga bahan organik tersebut harus dikompos. Prinsip pengomposan yaitu
menurunkan rasio C/N bahan organik.
Pengomposan
dapat dilakukan pada kondisi aerob (dengan oksigen) dan anaerob (tanpa
oksigen). Pengomposan biasa dapat dilakukan dengan metode indore (pengomposan
dilakukan di lubang), metode heap (pengomposan dilakukan di permukaan tanah),
metode barkeley (pengomposan dengan bahan dasar organik kaya selulosa dan kaya
nitrogen), dan metode vermikompos (pengomposan dengan memanfaatkan cacing
tanah).
Pengomposan
pada jerami dan tunggul padi ini dilakukan langsung di lahan sawah (digolongkan
dengan metode heap) sehingga pengomposan dilakukan secara aerob dan dibutuhkan
bakteri aerob pula.
Pengomposan
jerami yang dilakukan untuk setiap tonnya dapat menghasilkan kandungan unsur
hara setara dengan 41,3 kg Urea, 5,8 kg SP36, dan 89,17 kg KCl atau setara
dengan 136,27 kg NPK. (Sumber: http://lemahlanang. wordpress.com/2013/01/23/kandungan-jerami-padi/)
II.4.
Kelebihan/
keunggulan prakarsa yang diajukan dibandingkan dengan pemecahan masalah yang
pernah/ sedang dilakukan
Keunggulan
pengomposan dengan menggunakan bantuan bakteri ini dan dilakukan langsung di
lahan sawah tentu jauh lebih efektif dari pengomposan yang telah dilakukan
sebelumnya. Berikut keunggulan pengomposan dengan menggunakan bakteri:
1. Waktu
pengomposan dapat dilakukan secara singkat yaitu selama 7 hari sehingga
memungkinkan percepatan masa tanam padi sawah.
2. Cara
penyiapan lahan sawah dan jerami untuk aplikasi bakteri sangat mudah, cukup
didiamkan di lahan sawah kemudian digenangi dengan air.
3. Cara
aplikasi bakteri sangat mudah yaitu dengan dilarutkan dalam air kemudian
disemprotkan merata ke seluruh permukaan lahan sawah untuk memperoleh hasil
yang efektif.
4. Memudahkan
pengolahan lahan/ traktor kedua karena jerami sudah lumat dan cepat hancur.
5. Pengomposan
dalam lahan sawah merangsang tumbuhnya gulma sehingga pada saat pengolahan
lahan/ traktor kedua, gulma tersebut akan mati karena tergilas traktor kemudian
gulma tersebut terurai kembali oleh bakteri pengomposan yang masih ada di lahan
sawah.
Menciptakan lahan sawah yang organis, yang
dipenuhi mikroorganisme yang menguntungkan untuk tanaman padi karena lahan
sawah terhindar dari pembakaran dan bahan kimia.
III.
IMPLEMENTASI
III.1.
Prasyarat
sosial, ekonomi dan/atau teknis
1. Sosial
Sebagian besar masyarakat
petani di Jawa Barat belum melakukan pengomposan pada jerami hasil panennya.
Jerami yang dihasilkan biasanya dibakar. Ada juga beberapa diantaranya (dalam
jumlah kecil) yang memanfaatkan jerami untuk campuran pakan ternak dan media
tanam jamur.
Perubahan pola dan perilaku
petani ini memang membutuhkan waktu yang cukup lama. Para ahli mencatat, di
negara maju sekalipun perubahan perilaku budidaya petani membutuhkan waktu 15
tahun kecuali dengan memakai rangsangan/ stimulan. Stimulan inilah yang
kemudian menjadi patokan tonggak perubahan cara atau perilaku petani dalam
berbudidaya. Stimulan dapat berupa pemberian sampel produk atau dilakukan
demplot di lokasi-lokasi strategis yang informasinya dapat dijangkau petani
secara menyeluruh.
Disamping itu, ada juga
perilaku petani dimana petani harus melihat dan merasakan baik oleh sendiri
ataupun teman petani lainnya atau tokoh/ kontak tani hasil dari sebuah
prakarsa. Setelah itu, dengan sendirinya petani akan mengikuti.
2. Ekonomi
Apabila tidak dilakukan
pengomposan, maka unsur hara setara dengan 136,27 kg NPK akan terbuang sia-sia.
Disamping itu, petani akan meningkatkan pemakaian pupuk Urea karena aktivitas
pembusukan/ pengomposan jerami yang telat pada saat bibit padi telah ditanam di
lahan.
Sebuah penelitian di negara Thailand
menyebutkan hasil dari kegiatan pengomposan melalui bantuan bakteri ini dapat
menurunkan penggunaan pupuk kimia sampai 50 % dan meningkatkan produktivitas
sebesar 20 % sehingga dapat disimpulkan upaya pengomposan jerami dengan bantuan
bakteri secara ekonomi menguntungkan petani karena dapat menekan pengeluaran
biaya usahatani dan biaya tenaga kerja.
3. Teknis
Aplikasi pengomposan jerami
dan tunggul padi yang dilakukan pada lahan sawah pasca panen sebenarnya
mengikuti proses pengolahan lahan sawah yang dilakukan petani. Setelah panen,
biasanya petani melakukan traktor pertama (dikenal dengan istilah “ngagelebeg”)
kemudian didiamkan selama 1 sampai 2 bulan. Setelah itu dilakukan traktor kedua,
meratakan, dan penggarisan untuk kegiatan tanam (“tandur”).
Aplikasi produk bakteri
pengomposan dilakukan setelah lahan sawah ditraktor pertama (“digelebeg”) dan
lahan sawah digenangi air sampai jerami dan tunggul padi tenggelam. Hasil dari
pengomposan dengan bakteri ini akan terlihat pada hari ke-5 dan hasilnya tanah
sudah dapat diolah pada hari ke-7 untuk kemudian dilakukan traktor kedua dan
seterusnya sampai tanam/ “tandur”.
Aplikasi pengomposan dengan
bantuan bakteri ini akan sangat membantu dan sangat mendukung juga teknologi
yang diterapkan saat ini yaitu metode SRI (System
of Rice Intensification) karena lahan sawah sudah akan siap dalam waktu 7
hari setelah pengolahan lahan pertama dilakukan. Sementara dalam metode SRI,
bibit sudah akan siap ditanam dalam waktu 10 hari sehingga aplikasi pengomposan
jerami melalui bantuan bakteri ini sangat dibutuhkan.
III.2. Lembaga/Instansi Pemerintah dan/atau
swasta yang perlu ambil bagian dalam implementasi
Lembaga/
instansi pemerintah yang perlu diambil dalam bagian implementasi prakarsa ini
diantaranya:
1.
Kementrian Pertanian
2.
Dinas Pertanian Propinsi
3.
Dinas Pertanian setiap Kabupaten
4.
BPTP
Sementara
lembaga swasta yang perlu ambil bagian dalam implementasi yaitu produsen atau
distributor dari produk bakteri pengompos tersebut. Pihak swasta sementara ini
yang penyusun ketahui yaitu PT. Multi Sarana Sejahtera.
III.3. Langkah strategis untuk implementasi
prakarsa dan cara/metode implementasi
1. Langkah
strategis implementasi prakarsa
Implementasi sebuah
prakarsa tentunya harus dikaji terlebih dahulu dengan pengelompokkan (klaster)
lokasi-lokasi berdasarkan early adapter
dan late adapter. Perlakuan terhadap
petani early adapter dan late adapter tentunya berbeda. Perbedaan
inilah yang menentukan jumlah stimulan yang harus diberikan terhadap kedua
kelompok petani tersebut. Untuk lebih jelasnya, langkah strategis yang diambil
dalam implementasi prakarsa ini yaitu sebagai berikut:
a) Pengelompokkan
(klaster) lokasi-lokasi petani berdasarkan karakteristik petani early adapter dan petani late adapter.
b) Penyuluhan
atau Sekolah Lapang tentang manfaat dan cara/ teknik pengomposan dengan bantuan
bakteri di kedua lokasi tersebut. Pelaksanaan Penyuluhan atau Sekolah Lapang
ini dapat disandingkan dengan pelaksanaan kegiatan Penyuluhan atau Sekolah
Lapang lainnya, seperti SLPHT atau SLPTT atau SL SRI. Kegiatan ini lebih baik
diiringi juga dengan ujicoba lapangan.
c) Pemberian
stimulan berupa pemberian demplot di lokasi petani late adapter.
2. Cara/
metode implementasi prakarsa
a) Pengelompokkan
(klaster) lokasi petani.
Pengelompokkan
jenis petani menurut lokasi petani ini berdasarkan dari program yang telah
diberikan sebelumnya. Apabila di suatu wilayah, tingkat penyerapan petani untuk
inovasi sebuah teknologi cukup tinggi, maka cukup diberikan penyuluhan atau
Sekolah Lapang pengomposan dengan disertai ujicoba lapang. Biasanya petani early adapter akan dengan mudah
mengikuti setelah melihat contoh yang diberikan pada kegiatan penyuluhan atau
Sekolah Lapang tersebut. Bahkan beberapa petani biasanya melakukan ujicoba
sendiri untuk menegaskan ke kelompok taninya akan manfaat dari pengomposan
dengan menggunakan bakteri ini.
Apabila
wilayah lain terkategori sebagai wilayah petani late adapter, maka tidak hanya cukup dengan penyuluhan atau Sekolah
Lapang pengomposan. Perlu adanya stimulan lain berupa demplot atau lahan petani
yang diujicoba. Tentunya dilakukan terlebih dahulu CPCL (Calon Penerima Calon
Lokasi) sehingga ujicoba dilakukan di lahan sawah yang tepat dan dihadiri
petani secara keseluruhan sehingga informasinya cepat menyebar dan merata.
b) Penyuluhan
atau Sekolah Lapang pengomposan dengan bantuan bakteri.
Penyuluhan
atau Sekolah Lapang pengomposan dengan menggunakan bantuan bakteri ini cukup
diikutkan pada Penyuluhan atau Sekolah Lapang lainnya yang akan atau sedang
berjalan. Hal ini dimaksudkan disamping untuk menekan anggaran biaya, materi
pengomposan ini cukup singkat dan simpel serta yang lebih penting lagi dapat
dilihat hasilnya di lapangan sehingga setiap penjelasan materi pengomposan
menggunakan bakteri ini alangkah baiknya disertai dengan ujicoba di lapangan.
Metode
penyampaian informasi mengenai pengomposan dengan menggunakan bakteri ini pun
dilakukan secara pemaparan dan diskusi/ dialog aktif dengan petani. Dari
kegiatan ini diharapkan munculnya upaya-upaya pengomposan yang telah dilakukan
petani sehingga alternatif upaya pengomposan dengan menggunakan bakteri ini
berpeluang menjadi calon solusi yang selama ini dicari petani.
c) Pemberian
demplot.
Pemberian
demplot dilakukan dengan memberikan produk bakteri secara gratis atau subsidi.
Demplot dilakukan dalam waktu yang cukup singkat sehingga diharapkan petani
lebih fokus/ konsentrasi agar lebih mengerti prinsip-prinsip pengomposan dengan
menggunakan bakteri. Pertemuan demplot ini dilakukan pada hari aplikasi (hari
ke-1) dan pertemuan selanjutnya dilakukan pada hari ke-3 (untuk mengetahui dan
memastikan bakteri bekerja dengan baik), hari ke-5 (untuk mengecek kondisi
tanah dan jerami), dan hari ke-7 (untuk melihat hasil aplikasi pengomposan
menggunakan bakteri). Perlu diketahui dan dicatat, setiap demplot harus ada kontrol/
pembanding lahan sawah yang tidak dikompos dan atau lahan sawah yang tidak
diaplikasikan bakteri. Hal yang paling penting dalam pelaksanaan pemberian
demplot ini yaitu penjelasan mengenai cara aplikasi yang sangat mudah (tidak
merepotkan petani) yang harus diperhatikan petani sehingga tidak salah kaprah
dalam realisasinya.
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan
yang dapat diambil dari upaya implementasi prakarsa percepatan selang waktu
tanam padi sawah dengan bantuan bakteri pelumat jerami yaitu:
1. Selang
waktu tanam padi sawah dengan bantuan bakteri pelumat jerami cukup selama 7
hari sehingga dapat memberikan kesempatan kepada petani untuk menambah pola
tanam setiap tahunnya serta memberikan waktu untuk mengantisipasi bibit padi
yang gagal ditanam.
2. Limbah
jerami dapat dimanfaatkan untuk campuran pakan ternak, campuran media tanam
jamur, dan pupuk kompos. Pengomposan jerami dilakukan dengan cara yang sangat
mudah karena lahan sawah yang dipenuhi dengan jerami cukup digenangi dengan air
dan diaplikasikan bakteri ke dalamnya.
3. Jerami
yang dimanfaatkan dengan cara pengomposan dapat menghasilkan unsur hara setara
dengan 136,27 kg NPK
untuk setiap ton jerami yang dikompos. Semakin banyak jerami yang dikompos,
maka kebutuhan pupuk kimia akan semakin sedikit.
V.
DAFTAR PUSTAKA
Berkelar, Dawn. Sistem
Intensifikasi Padi (The system of Rice Intensificasion – SRI): Sedikit dapat
Memberi Lebih Banyak. http://www.elsppat.or.id/download/ file/SRI-echo%20note.htm.
Diakses pada: 19 Mei 2013.
Indoagrow. Beberapa Metode Pengomposan.
http://indoagrow.wordpress.com/ 2012/02/10/beberapa-metode-pengomposan/.
Diakses pada: 19 Mei 2013.
Kandungan Jerami Padi. http://lemahlanang.wordpress.com/2013/01/23/
kandungan-jerami-padi/. Diakses pada: 19 Mei 2013.
Konsep Pedoman Teknis Pengembangan System of
Rice Intensification TA. 2012. Kementrian Pertanian. 2012.
Memahami Sistem Pertanian Organik.
http://taniternakbudidaya.blogspot.com/ 2012/12/memahami-sistem-pertanian-organik.html.
Diakses pada: 14 Mei 2013.
Petunjuk Pelaksanaan Unit Pengelolaan Benih
Sumber Tanaman. BPTP, Kementrian Pertanian. 2011.
Prinsip-Prinsip Pertanian Organik.
International Federation of Organic Agriculture Movements. 2012.
Teknis Pembuatan Kompos. Kementrian
Pertanian. 2009.
2 komentar:
Ya setuju sekali, memang sudah seharusnya petani moderen memahami sistem organik, paling tidak semi organik aja dulu. "Selamatkan bumi ini, mulai dari diri sendiri"
Bisa beli ato mendapatkan bakteri pelumat jerami dimana.. saya tinggalkan nomor. 081328454679
Posting Komentar